17 Desember 2011

Perbudakan Dibalik Kemegahan Industri China


Zambia sebelum tahun 1928, ketika masih berada dibawah koloni Inggris, memiliki tambang tembaga yang berada di sepanjang wilayah perbatasan Zambia dan kongo “Copperbelt” yang menjadi aset utama dalam pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Laporan dari Bank dunia menyebutkan bahwa status Zambia telah naik dari negara dengan pendapatan rendah menjadi negara yang memiliki pendapatan menengah melalui pendapatan di pertambangan tersebut. Pertambangan telah menjadi sebuah kebudayaan tersendiri dimana tambang menjadi tulang punggung dalam sebuah keluarga di Zambia.

Pemerintah Zambia di bawah Kenneth Kaunda mengeluarkan kebijakan untuk menasionalisasi pertambangan tembaga yang sebelumnya di kontrol oleh 2 perusahaan yaitu the UK (and later Roan) Selection Trust dan the British-South African owned Anglo American Corporation akibat minimnya pemasukkan yang diberikan kepada negara dari kedua pertambangan tersebut. Kebijakan ini mengharuskan perusahaan tambang untuk menyediakan perumahan, makanan dan jaminan kesehatan bagi para pekerjanya. Tidak hanya itu, perusahaan juga harus menyediakan sarana infratruktur bahkan pusat olahraga

Jatuhnya harga tembaga dan rendahnya investasi modal telah membuat industri pertambangan dan perekonomian Zambia ambruk. Pendapatan per kapita Zambia turun sebanyak 50 persen sejak tahun 1974. Akibat tekanan dari Bank Dunia dan IMF, Zambia kemudian mulai mengadopsi program structural adjustment. Penjualan aset-aset negara di mulai sejak tahun 1997.

China merambah ke industri pertambangan di Zambia bersaing dengan para kompetitor lainnya dari India, Afrika Selatan, Switzerland dan Kanada, setelah dilakukannya privatisasi di Zambia. Di tahun 1998, perusahaan tambang non-ferrous China (CNMC) membeli pertambangan tembaga di Chambisi untuk melakukan kerjasama non-ferrous China-Afrika (NFCA) dan sebanyak $132 juta diperoleh ketika tambang ini kembali berproduksi pada tahun 2003 setelah terbengkalai selama 13 tahun. Di tahun 2006, dalam forum kerjasama Afrika-China terbentuklah Zambia-China Economic and Trade Cooperation Zone (ZCCZ). Besarnya pengaruh China di Zambia nampak dari keberadaan 4 perusahaan anak tambang yang bergerak di bawah kendali CNMC yaitu, NFCA, CLM, CCS, Sino Metals .

Human Watch melalui laporannya mengklasifikasikan beberapa bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi China melalui NFCA antara lain: pelanggaran terhadap perlindungan kesehatan dan keamanan, beban waktu kerja yang berlebihan serta pelarangan dan intimidasi terhadap aktifitas serikat buruh. Pertambangan tembaga membawa persoalan yang serius dalam hal kesehatan serta resiko keamanan. Aktifitas pertambangan yang terjadi di bawah tanah sangat berbahaya hal ini ditandai dengan tercatatnya 15 kematian di Zambia setiap tahun sejak tahun 2001. Para pekerja di pertambangan China memiliki sejumlah masalah kesehatan yang cukup serius seperti patah tulang hingga amputasi akibat tertimpa bebatuan, dan masalah pernapasan akibat minimnya ventilasi ketika bekerja di bawah tanah serta peralatan perlindungan kerja. Konvensi ILO no.176 menyebutkan bahwa pekerja di sebuah operasi pertambangan harus menginformasikan kepada pekerjanya jika terdapat kondisi membahayakan. Namun, dalam kasus ini, buruh di Zambia seringkali diperintahkan untuk berkerja meski dengan kondisi yang membahayakan hingga mengakibatkan kecelakaan kerja yang fatal. Pada april 2005 tercatat sebuah peristiwa kematian terbesar sepanjang sejarah industri pertambangan tembaga di Zambia yang menewaskan 46 pekerja Zambia akibat ledakan di sebuah pabrik manufaktur CNMC dekat NFCA. Di tahun berikutnya pada tanggal 25 Juli 2006 adanya protes dari para pekerja mengenai gaji rendah serta kondisi lingkungan kerja yang buruk. Para pekerja melakukan perusakkan kantor manager China pada malam harinya. Dan pada keesokan harinya sebanyak 6 pekerja mengalami penembakkan oleh manager China dan para pekerja yang melakukan protes di pecat. Para pekerja tambang di Zambia juga menghadapi masalah dengan waktu kerja dimana beberapa penambang bahkan bekerja 78 jam/minggu dengan hari kerja 365 hari/tahun tanpa libur. Kebanyakan penambang di Sino Metals bekerja selama 12 jam/hari dibawah kondisi kerja yang buruk. Para pekerja di tambang China bekerja dari jam 6 pagi hingga 6 malam namun terkadang harus menjalankan shif malam dengan bayaran sebesar $42 namun gaji yang mereka terima seringkali mengalami penurunan dengan tingkat kalkulasi yang tidak jelas. Para pekerja juga tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat. Aktifitas serikat buruh juga tidak diperkenankan di perusahaan tambang China. Mineworkers Union of Zambia (MUZ) merupakan serikat buruh tertua di Zambia sejak 1948, selain itu terdapat National Union of Miners and Allied Workers (NUMAW) yang beroperasi sejak tahun 2003. Hak buruh untuk bergabung ke dalam serikat buruh dilindungi oleh UU ham dan buruh namun konsep tersebut tidak dipahami oleh China. Intimidasi dan berujung pada pengunduran diri seringkali diterima oleh para pekerja tambang yang diindikasikan menjadi bagian dari sebuah serikat.

Arah Baru Polugri Jepang


Salah satu kasus terhangat yang sedang menjadi pembicaraan di Jepang adalah sengketa yang terjadi antara Jepang dan Republik Rakyat China di wilayah laut China timur berfokus pada kepulauan Ryukyu, pulau Senkaku. Sengketa ini menjadi sebuah masalah yang urgent di Jepang sebab hal ini menyangkut kemampuan Jepang dalam menjaga stabilitas kedaulatan wilayahnya di tengah-tengah kondisi yang sedang bergejolak namun disisi lain terbatasi oleh konstitusi (pasal 9) serta ketergantungan akan aliansi militer dengan Amerika. Dijelaskan secara ringkas bahwa Laut China Timur dengan wilayah yang dipersengketakan yaitu kepulauan Ryukyu, pulau Senkaku disebelah selatan Okinawa berdasarkan Restorasi Meiji, ditandai sebagai bagian dari Prefektur Okinawa pada tahun 1979. Pulau Senkaku sendiri, berada di tengah tengah perbatasan antara Kerajaan Ryukyu dan Dinasti Qing dan terkenal dengan nama Sinon-Japanese boundaries dan diklaim oleh Jepang pada tanggal 14 Januari 1895. Kepemilikan Jepang atas Senkaku dibuktikan dengan adanya mercusuar yang dibangun pada tahun 1996 oleh sekelompok orang Jepang.
Sengketa yang terjadi antara Jepang dan China di awali tindakan illegal berupa pemancingan dari sejumlah nelayan China di wilayah Jepang serta adanya tindakan berlebihan China yang mengirimkan beberapa pesawat mata-mata di wilayah sengketa. Sengketa yang terjadi tentu tidak sebatas perebutan klaim wilayah kedaulatan namun yang menjadi penting yakni perebutan sumber energi dengan cadangan yang melimpah, sehingga meski pada tahun 2008 telah disepakatinya perjanjian kerjasama mengenai pengolahan gas alam disekitar pulau Senkaku namun hingga kini China kembali bersikeras terhadap pendiriannya untuk menguasai seluruh wilayah perairan yang ada.
Sengketa yang terjadi menimbulkan sejumlah argumentasi dalam tubuh pemerintahan Jepang dalam mencari solusi penyelesaian yang ada. Untuk pihak oposisi sendiri yang dipimpin oleh Nobuteru Ishihara dari partai liberal mengusulkan agar dibangunnya pangkalan militer Jepang di wilayah persengketaan. Langkah ini dianggap perlu bagi kaum oposisi dalam menyikapi kebangkitan China. Terlebih lagi dengan adanya aktifitas China yang sedang giat giatnya membangun angkatan lautnya dengan membeli super kilo yang didesain untuk pengarahan militer terhadap Taiwan. Selain itu hal ini dipicu oleh membesarnya porsi anggaran militer China yang naik 14,9 persen pada tahun 2009. Pada Tahun 2009 Pemerintah China menaikkan anggaran militernya mencapai 480,686 miliar yuan (70,2 miliar dolar AS), meningkat 62,482 miliar yuan dari 2008, Kemudian pada tahun 2010 ini, Pemerintah China meningkatkan lagi anggaran pertahannya sebesar 10% dari 84,9 miliar dollar tahun lalu untuk anggaran militer tahun 2010. Adanya keinginan China untuk memperluas kekuatan pertahanan lautnya ke wilayah Pasifik Barat mendorong China harus menggerakkan submarinenya ke wilayah armada lautnya yang lain, dengan melewati Kepulauan Ryukyu.
LDP sebagai sebuah partai oposisi yang cukup konservatif berpendapat bahwa kebijakan untuk membangun pangkalan militer di Jepang berguna dalam melakukan kontrol penuh terhadap Senkaku serta akan difungsikan sebagai pos permanen bagi Self Defence Force dalam menjaga kestabilan di area tersebut. Dalam menganalisa kebijakan seorang Nobuteru Ishihara yang merupakan anak dari Shintaro Ishihara seorang negarawan yang dikenal sebagai sosok nasionalis yang sangat blak blakan bahkan seringkali menciptakan kontroversi dengan argumennya agar Jepang mengembangkan senjata nuklirnya dan mengurangi ketergantungannya akan aliansi militernya dengan Amerika Serikat, nampaknya Ishihara muda tidak lebih reaktif. Ishihara muda menyatakan bahwa partai liberal dibawah kepemimpinannya tidak akan membahas mengenai persoalan pengembangan senjata nuklir bagi Jepang namun disisi lain, mendorong dinaikkannya anggaran pertahanan bagi Jepang merupakan salah satu fakta dimana kecenderungannya dalam melihat masa depan militer Jepang yang lebih Independen.
Pemerintah Jepang sendiri berpendapat bahwa aliansi Jepang dengan Amerika masih dapat dimanfaatkan dalam membendung pengaruh China di kawasan tersebut, terlebih lagi dengan adanya dukungan Amerika terhadap Jepang serta adanya reaksi negatif dari dunia Internasional akibat kebijakan China yang menggertak Jepang dengan beberapa kali mengirimkan pesawat mata-mata ke wilayah yang dipersengketakan. Secara gamblang disimpulkan bahwa ketika adanya ancaman kedaulatan Jepang yang sudah tentu berkaitan dengan militer terganggu, maka sudah pasti akan berhadapan dengan Amerika. Namun disisi lain,, ketika strategi militer menjadi pilihan Jepang untuk mengamankan akses energi, maka kebutuhan pengembangan persenjataan menjadi sebuah keharusan. Pemerintah Jepang tentu saja menyedari hal tersebut. Diberitakan dalam sebuah media cetak di Jepang, Yomiuri yang melaporkan bahwa adanya keinginan pihak Jepang untuk membeli pesawat tempur Lockheed Martin F-35 stealth fighter dalam memperkuat angkatan udaranya, dengan harga yang diperkirakan mencapai miliyaran dolar. Namun nampaknya kementerian pertahanan Jepang tidak ingin menyebar luaskan hal tersebut. Menurut sumber juga disebutkan bahwa Jepang berniat untuk membeli 40 jet tempur senilai 8 miliar dolar.
Jepang merupakan sebuah negara yang sangat berpotensi dalam memiliki armada militer yang kuat dan independen namun aliansi militer yang telah terbangun membatasi potensi tersebut untuk berkembang. Disisi lain, hal tersebut juga disebabkan oleh tidak adanya kesamaan visi dalam lingkup domestik Jepang mengenai arah militer Jepang. Namun dengan melihat kondisi stabilitas regional yang sewaktu-waktu dapat menegang bahkan di beberapa negara telah terjadinya konfrontasi, hal ini tentu berefek pada bagaimana Jepang harus mengamankan diri sendiri dengan mengurangi ketergantungan aliansi militernya dengan Amerika. Jika kondisi ketegangan di wilayah regional semakin meningkat maka hal ini bisa saja menggiring Jepang dalam membentuk Format Self Defence Force yang lebih mapan tidak hanya dalam segi kuota namun juga instrumen-intrumen militer yang lebih canggih. Terlebih lagi dengan keberadaan LDP di Jepang yang lebih berorientasi terhadap militer Jepang yang lebih independen, hal ini dapat menjadi sebuah arah kebijakan politik baru jika LDP mampu menguasai kursi perdana menteri Jepang dan mendominasi parlemen Jepang.

22 September 2011

Reviw Filsafat Ilmu

Oleh Rara Anugrah. Penulis merupakan Mahasiswa HI angkatan 2011

Filsafat ilmu adalah salah satu pembahasan yang menjadi penting untuk dipelajari sebab filsafat ilmu merupakan sebuah dasar pemikiran. Istilah filsafat yang merupakan terjemahan dari bahasa yunani philo (love) dan sophia (wisdom). Jadi secara etimologi, filsafat artinya Cinta atau gemar akan kebijaksanaan (love of wisdom). Cinta disni diartikan sebagai hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau sungguh-sungguh, sedangkan kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya. Sehingga bila saya simpulkan akan berarti filsafat adalah sebuah hasrat atau keinginan yang sungguh-sungguh akan kebenaran sejati

Ada juga yang mengatakan bahwa filsafat merupkan suatu usaha untuk berpikir secara radikal dan menyeluruh, suatu cara berpikir dengan mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Setiap orang berhak memberikan pendapat mereka mengenai apa sebenarnya definisi dari filsafat itu maupun filsafat ilmu. Namun tetap harus memperhatikan persyaratan yang ditetapkan untuk sebuah definisi yakni: penggunaan bahasa harus jelas, menggunakan bahasa yang spesifik, tidak dalam bentuk negatif, serta kata-katanya harus bersifat mendeskripsikan.

Ada beberapa definisi dari para ahli mengenai filsafat ilmu, seperti Conny Semiawan at al (1998;45) menyatakan bahwa filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang bebicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya. Menurut Erven J.bijleveld dalam bukunya yang berjudul “inleding tot de Wetenschasleer” yang diterjemahkan oleh Drs. Soejono Soemargono mendefinisikan filsafat adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain, filsafat ilmu sesungguhnya merupakan suatu penyelidikan lanjutan. Karena apabila para penyelenggara berbagai ilmu melakukan penyelidikan terhadap obyek-obyek serta masalah-masalah yang berjenis khusus dari masing-masing ilmu itu sendiri, maka orangpung dapat melakukan penyelidikan lanjutan terhadap kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut.

Jadi dari beberapa pendapat tadi dapat diideentifikasi karakteristik filsafat ilmu sebagai berikut:

-filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat

-filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari sudut pandang ontologis, epistimologis dan aksiologis.

Filsafat ilmu juga memiliki obyek dan material. Obyek material filsafat ilmu adalah pengetahuan ilmiah (science knowledge) atau ilmu. Obyek material filsafat ilmu sama dengan beberapa ilmu lain seperti sejarah ilmu, psikologi ilmu atau sosial ilmu. Dalam mempelajari filsafat ilmu kita juga tentunya akan mendapatkan manfaat. Contohnya kita sebagai mahasiswa dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan agar semakin kritis dalam sikap ilmiahnya. Kita sebagai insan kampus diharapkan untuk bersikap kritis terhadap berbagai macam teori yang kita pelajari di ruang kuliah maupun di sumber-sumber lainnya. Selain itu, mempelajari filsafat ilmu juga mendatangkan kegunaan dalam memberi kita pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.

...yang menjadi ciri pengenal manusia yang berpikir ialah bahwa ia membentuk pengetahuan. Pengetahuan ini diperoleh dengan jalan menghentikan reaksinya yang serta merta dan kemudian berpikir lebih lanjut serta menyelidiki hubungan yang terdapat antara hal-hal yang dihadapinya serta menyelidiki pula sebab-sebab serta alasan –alasan yang tersembunyi di balik hal-hal tersebut. Pengetahuan yang diperoleh secara demikian ini pada umumnya memberikan jaminan akan kepastian yang lebih besar, yang lebih tinggi dibandingkan dengan kepastian hayati yang dipunyai oleh hewan yang mengadakan reaksi secara naluriah. Tindakan yang mengikuti jalan memutar karena melakukan penalaran mendapatkan motivasi serta perencanaan secara sadar. Di dalam diri subyek, kesatuan dalam berpikir sebab bertindak menghasilkan pengetahuan yang secara berangsur-angsur bertambah luas, serta mendalam yang terungkap dalam bahasa dan yang dapat diberitahukan kepada sesama subyek yang lain. Kini ilmu merupakan bentuk yang lebih mendasar dari pertanyaan serta pertanggung jawaban, penanganan serta penguasaan bahasa (BIJLEVELD)

08 September 2011

KETIKA JEJARING SOSIAL MENUTUP MATA KITA


Kehadiran social networking (jejaring social) pada awalnya merupakan sebuah berkah tersendiri yang dirasakan oleh masyarakat banyak dengan kemudahan berinteraksi satu sama lain walaupun dipisahkan oleh jarak yang jauh, bahkan jejaring social tersebut mampu dimanfaatkan sebagai sarana mempromosikan barang. Arus globalisasi yang begitu pesat tiba-tiba saja menjadikan jejaring sosial sebuah tren di kalangan masyarakat Indonesia. Setiap orang kemudian merasa harus memiliki jejaring social jika tidak ingin dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman. Bahkan terkadang kita menemukan fenomena lucu di mana seseorang memiliki jejaring social, namun tidak tahu bagaimana cara mengoperasikannya karena menurut mereka yang terpenting adalah memiliki jejaring social tersebut sedangkan bagaimana memanfaatkan itu urusan belakang bahkan ada kecenderungan mereka tidak mau tahu. Fenomena-fenomena seperti ini muncul di tenga tekanan kehidupan masyarakat saat ini di mana eksistensi seseorang dapat dilihat dari kepemilikkan jejaring social. Hanya karena ingin dikatakan keren ketika menjawab “yah” dari pertanyaan seperti,”eh…ada twitter, facebook atau tumblr ta??” maka setiap orang berlomba-lomba untuk membuat jejaring social. Akhir-akhir ini mungkin kita kesulitan atau pura-pura tidak tahu untuk membedakan kebutuhan dan keinginan kita. Sekalipun kita tidak butuh terhadap suatu hal namun ada nilai prestisius dalam masyarakat ketika kita memilikinya, maka mau atau tidak mau kita akan memaksa raga kita untuk mencapai hal tersebut. Di sini tidak ada justifikasi bahwa jejaring social itu tidak penting tapi alangkah baiknya jika kita mengetahui manfaat dari jaring social itu sendiri sehingga ke depannya tidak ada hal yang sia-sia yang kita lakukan.

Di kalangan mahasiswa, jejaring social saat ini menjadi sebuah kebutuhan dalam menunjang aktifitas akademik. Selain itu, jejaring social dapat digunakan sebagai forum diskusi antar mahasiswa dari seluruh dunia demi membangun jaringan pertemanan di antara mereka sekalipun dipisahkan oleh jarak. Mungkin idealnya seperti itu, namun fenomena hari ini tidak lagi seperti itu. Kehidupan social kita yang masih bisa dijalin dengan bertatap muka seolah digantikan oleh jejaring social. Kita begitu menikmati hidup di dunia maya daripada hidup di dunia nyata. Harus kita sadari bahwa jika kita bertatap muka akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan komunikasi melalui dunia maya. Bertatap muka dengan tatapan mata serta kejujuran dari ekspresi wajah tidak mungkin dapat digantikan dengan rentetan kata-kata yang kita ketik. Frekuensi diskusi koridor yang dimanfaatkan untuk bertukar pikiran dan menjalin hubungan social semakin berkurang dari hari ke hari karena banyak di antara kita saat ini lebih menikmati duduk sendiri hingga berjam-jam di depan laptop daripada harus menatap orang-orang di sekitar kita. Tidak jarang kita menemukan pemandangan jejeran orang dengan masing-masing laptop dalam pangkuannya duduk berjejer di koridor bahkan di taman kampus. Seruan seperti “teman-teman ayo diskusiii” sering ditanggapi dengan kata “soknya dehh atau duluanmi, masih onlineka belaa, nantipi saya baca resumenya saja”. Pemaknaan terhadap diskusi yang begitu sempit harus kita kaji ulang. Diskusi seolah di maknai sebagai suatu hal yang sangat berat dan terbatas pada hal-hal yang sifatnya bertukar pikiran saja. Padahal itu adalah persepsi yang kita bangun sendiri, diskusi sebenarnya menjadi wadah untuk saling bertemu sebagai upaya penciptaan hubungan social satu sama lain. Dan hal ini tidak mungkin tergantikan dengan kehadiran jejaring social.

Mahasiswa yang didengung-dengungkan sebagai seorang yang intelektual seharusnya mampu mengkaji dan mengantisipasi keterasingan yang ditimbulkan oleh penggunaan jejaring social yang berlebihan, jangan malah ikut terseret dalam jebakan globalisasi ini. Tapi harus diakui bahwa kondisi hari ini menunjukkan puncak kesuksesan jejaring social dengan menciptakan manusia-manusia individualistic. Masih adakah yang peduli terhadap sesamanya? Kalaupun ada, berapa banyak? Dalam pikiran sebagian besar orang yang penting adalah mereka masih bisa hidup sekarang dan hari esok, tidak peduli apa yang akan terjadi dengan orang lain. Mereka mungkin bahagia ketika di berada di dunia maya tapi apakah mereka sadar jika kebahagiaan yang mereka dapatkan juga hanya bersifat maya. Seorang mahasiswa adalah orang yang memiliki pengetahuan, jangan sampai menjadi budak dari benda mati yang seharusnya mampu kita kendalikan.

Kami tidak pernah menyudutkan jejaring social tapi sangat berharap para penggunanya mampu menempatkan diri serta tidak menutup diri. Dampak yang ditimbulkan dari jejaring social sebenarnya ada di tangan kita, apakah kita ingin mengarahkan pada hal yang akan membuat hidup kita lebih bermanfaat atau mungkin ingin mengasingkan diri kita dari kehidupan nyata. Mari menggunakan segala sesuatu sesuai dengan porsinya kawan!!!

DEPARTEMEN ADVOKASI DAN KAJIAN STRATEGIS HIMAHI FISIP UNHAS

Sejarah Mahasiswa Indonesia

Bagaimana Kabarmu Mahasiswa?

Sejarah Mahasiswa adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah pergerakan mahasiswa itu sendiri, karena eksistensi mahasiswa adalah manifestasi dari pergerakannya. Secara etimologi, mahasiswa terdiri dari kata maha dan siswa. Maha berarti amat, tinggi, atau besar, dan siswa adalah pelajar sekolah. Jadi mahasiswa adalah siswa/pelajar sekolah tinggi. Dan secara terminologi mahasiswa adalah sebutan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi.

Gerakan Mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.

Hiduupp Mahasiswa!!! Mungkin saya sudah mendengar jargon ini ditengah kerumunan orang yang memegang spanduk dan selebaran-selebaran karton yang juga berisi jargon-jargon. Jargon anti-kapitalisme dan juga anti-pemerintah yang otoriter. Juga dihiasi kepulan asap hitam berbau karet menyengat dari ban mobil yang sudah gundul. Ahh... sungguh pemandangan yang sangat indah dan tentu membakar semangat pemuda mahasiswa yang menyerukan kebebasan dari segala ketidakadilan.

Tidak lupa juga suara klakson dan keluhan dari pengguna jalan yang menggerutu. Atau geraman dari sopir angkutan umum yang terhalang untuk mencukupi setorannya hari ini. Memang Aksi membuat lalu lintas lumpuh sekitar beberapa menit dan beberapa menit setelahnya. Sekilas terdengar seperti paradoks yang saling bertentangan. Ketika sekumpulan mahasiswa yang rela berpeluh dan bermandi matahari demi kesejahteraan rakyat, justru menyusahkan rakyat itu sendiri.

Menyusahkan bagaimana? Apakah sama menyusahkannya dengan kelaparan? Atau sama menyusahkannya dengan tidak dapat berobat dan sekolah? Atau mungkin sama menyusahkannya dengan tidur beratap langit dan berlantai timbunan sampah? Mungkin beberapa menit dan beberapa menit setelahnya dari kepulan asap hitam yang menyengat serta carut marut lalu lintas mampu membuat apa yang orang-orang sebut dengan dunia, mampu mendengar walaupun hanya sedikit atau sedetik dari rintihan-rintihan yang menuntut keadilan? Sopir angkutan umum pun dan pengguna jalan lainnya melanjutkan perjalanan setelah api yang membara itu padam. Yah, apinya.

Pada hakikatnya Mahasiswa dalam tatanan sosial masyarakat memiliki posisi yang sentral seperti peran yang diembannya. Sering kita mendengar Agent of Change, Moral Force, dan Social Control. Agen perubahan dikala realitas kehidupan telah melenceng dari amanat konstitusi dan bahkan mencipta tatanan baru. Kalangan yang diberi hak sebagai motor kekuatan moral apabila bangsa telah amoral dan bahkan sebelum diambang amoral sekalipun. Kalangan yang harus mengamati realitas sosial dan bahkan pengurut sendi-sendi yang rapuh dalam bangsanya. Posisi mahasiswa sebagai kalangan yang independent dan seharusnya memang independent. Bukan mahasiswa seperti apa adanya tetapi bagaimana seharusnya sebagai kaum intelegensia yang diamanati Tri Dharma perguruan tinggi. Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada masyarakat. Mungkin hal ini sering terngiang dan dibicarakan dalam kalangan mahasiswa. Namun, bagaimana masa depan peran ini? Apakah hanya akan menjadi jamur dan dianggap utopia dalam kehidupan mahasiswa dewasa ini?

Mahasiswa harus bebas dari berbagai intervensi politik apalagi terjun kedalam barang yang penuh lumpur itu, namun dituntut untuk mengambil langkah-langkah yang berarti politis. Langkah-langkah yang layaknya berasal dari posisi tengah,proporsional, bahkan memihak yang lemah tak berdaya dalam tatanan sosial masyarakat. Langkah-langkah yang harus dianalisis sebelum mengaktualisasikannya.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab hal yang sangat tidak diinginkan ini tercipta. Yang pertama, kalangan mahasiswa telah terinfeksi oleh organ-organ yang justru menghapus status pure-nya yang sentral. Banyak lembaga-lembaga mahasiswa yang terbelit organ-organ yang mempunyai orientasi politik. Mungkin inilah hal yang menjadi racun pahit yang membuat kalangan ini mengawang-awang diudara. Terkadang pula menjelma menjadi jembatan-jembatan yang mengagungkan usungannya. Sehingga terkesan menikmati kondisi ini. Yang kedua, kemerosotan budaya diskusi dan kajian fenomena kontemporer. Kalaupun ada ini hanya cenderung bersifat debat kusir. NATO. No Action, Talk Only. Begitu kiranya yang tepat untuk saat ini. Apalagi melahirkan solusi yang dapat di aktualisasikan untuk gerakannya, hampir nihil wahai pemuda! Mahasiswa yang dahulu yang dibanggakan karena keterpeduliannya, kini mahasiswa telah dimanjakan dengan kemajuan teknologi yang menggerus waktunya untuk memikirkan fungsi dan perannya yang kian surut dari terjangan ombak-ombaknya dahulu. Ombak yang dulunya mengantar perahu peradaban sosial. Dan ombak yang memecah karang-karang kapitalisme dan pemerintah yang otoriter. Dengan kondisi yang seperti inilah yang membuat kurangnya karya dan langkah pembelaan yang terkungkung oleh kaki tangan politik.

Sejak dahulu hingga kini sikap ini adalah pilihan dan akan tetap menjadi pilihan bagimu wahai pemuda. Menjadi sampah kapitalis yang apatis dan jembatan kungkungan politik? Ataukah menjadi mahasiswa yang punya naluri abadi.

26 Juli 2011

Sebelum Diskusi Mati di Tamannya Sendiri

Oleh: Hasrul Eka Putra

Penulis adalah Mahasiswa HIMAHI FISIP UNHAS

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah

Usirlah mereka dengan revolusi

Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi

Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi

Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan!

(Negeri Para Bedebah-- Adhie M Massardi)

Kecemasan soal sepinya atmosfir diskusi di taman intelektual kian mengemuka. Di beberapa edisi media ini, fenomena krisis budaya diskusi selalu diangkat—bahkan menjadi headline (Identitas, Akhir Maret 2011). Fakta-fakta kasat mata semakin menguatkan ironi: saat gairah diskusi merosot tajam, gairah inagurasi dan futsal-isme begitu digandrungi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Diskusi di Zaman Sertifikat

Di zaman ketika positivisme-materialisme menjelma menjadi berhala-berhala baru, aktivitas apapun yang tidak menghasilkan keuntungan-keuntungan material menjadi tidak menarik. Tidak dibutuhkan. Mirisnya, aktivitas seperti diskusi pun turut terjebak dalam kerangkeng logika ini. Diskusi bagi sebagian orang akan sangat menarik jika diskusi (dalam bentuk apapun itu) tidak hanya memberikan sajian ilmu: harus pula menyajikan secarik sertifikat. Sekarang, diskusi tanpa sertifikat adalah diskusi yang tidak produktif. Bobot dan topik diskusi menjadi nomor dua. Nomor satu adalah sertifikatnya.

Di wilayah akademik, Student Center Learning (SCL) yang digembar-gemborkan sebagai metode baru yang bisa merasangkan keaktifan dan daya intelektual mahasiswa ternyata layu sebelum berkembang. Keterbatasan sarana, tenaga pengajar dan kemampuan dasar SCL yang sudah dianggap biasa malah menghasilkan proses mengajar yang setengah-setengah (Identitas, November 2008). Metode diskusi dan presentase pun menjadi pilihan utama proses belajar-mengajar model ini. Budaya diskusi dalam kelas mulai tumbuh. Hanya saja budaya dan gairah ini dilakukan lebih atas tekanan perkuliahan dan motivasi “nilai”. Banyak bertanya sama dengan bagus nilai-nya. Bagus nilai berarti tinggi IP. Tinggi IP dan bagus nilai, cepat selesai! Logika seperti ini yang juga terus ditanam di kepala mahasiswa sejak Penerimaan Mahasiswa Baru. Logika yang turut memberi sumbangsih besar atas semakin tergerusnya budaya diskusi.

Hal ini kemudian diperparah oleh lembaga kemahasiswaan yang juga turut terjerembab ke dalam lumpur pemahaman positivistik. Ada kecenderungan dalam tubuh lembaga kemahasiswaan yang memandang bahwa diskusi hanya sebagai bagian dari program kerja lembaga yang harus direalisasikan. Parameter keberhasilannya pun hanya diukur dari terlaksana atau tidak terlaksananya kegiatan. Persoalan kualitas wacana dan kuantitas partisipan tidak menjadi masalah utama. Lihatlah kegiatan diskusi kampus belakangan ini: diskusi-diskusi “canggih” yang berbentuk seminar, simposium, kuliah tamu, dan sebagainya cukup gencar digelar oleh lembaga kemahasiswaan. Namun, diskusi “rakyat” semacam diskusi koridor/pelataran kian minim ditemui. Diskusi-diskusi “rakyat” cuma melimpah saat bulan-bulan pertama kedatangan mahasiswa baru. Selepas masa perkaderan, kembali ke keadaan krisis diskusi. Kalaupun ada, peminatnya pun minim.

Melihat minimnya atensi dan animo mahasiswa terhadap budaya diskusi, bukannya mencari inovasi atau kreasi metodologi diskusi, lembaga mahasiswa malah berbelok arah. Memilih program kerja dan aktivitas yang digandrungi oleh orang kebanyakan. Maka semaraklah pertunjukan-pertunjukan euforik ala SMA dan sindrome futsal-isme. Kampus yang lebih diharapkan sebagai “juru selamat” masalah-masalah masyarakat malah disibukan dengan aktivitas-aktivitas yang semakin menjauhkannya dengan masyarakat.

Paradoks

Ada juga paradoks soal budaya diskusi: ketika diskusi di kampus sepi, diskusi di “kampus maya” kian ramai. Budaya diskusi face to face yang terpuruk sepertinya berbanding terbalik dengan fenomena meledaknya jejaring sosial berserta seperangkat fasilitasnya yang membuat manusia kian nyaman dengan kesendiriannya. Grup, threat, topik dan kawan-kawannya semakin berjubel di dunia maya. Dengan berbagai macam nama, komunitas hingga gerakan-gerakan sosial tumbuh subur di jejaring sosial. Fenomena ini sah-sah saja sepanjang dilakukan secara proporsional dan tepat sasaran. Namun, ketika fenomena ini juga turut membuat manusia kian malas melakukan aktivitas-aktivitas fisikiah, maka itu menjadi masalah. Di kampus, fasilitas wifi gratis sudah tersedia dimana-mana. Dari ruang kelas, ruang tunggu, hingga di sekretariat lembaga-lembaga kemahasiswaan orang bisa dengan mudah “masuk” dan terjun dalam dunia artifisialnya yang baru. Atas nama kenyamanan dan ketersediaan fasilitas di kampus ini, penguat-penguat signal dijejali di semua langit-langit fakultas. Signal akan semakin kencang. Berselancar akan semakin nyaman. Dan pastinya diskusi di dunia nyata akan semakin terlihat membosankan. Padahal dunia nyata yang sedang kita tinggali membutuhkan lebih dari sekedar “perubahan maya”.

Lebih lanjut, sepinya budaya diskusi ini bisa mereprentasikan kelesuan pergerakan dan semangat perubahan mahasiswa. Pergerakan yang terus terjebak pada masalah-masalah lama (yang bersifat momentum, arogansi warna, hingga gerakan yang ditunggangi) membuat mahasiswa merasa jenuh dan nyaris putus asa dengan idealismenya sendiri. Di tengah negeri yang semakin dipenuhi para bedebah dan cukong-cukong idealisme, kampus malah memenjarakan mahasiswa yang masih punya mimpi-mimpi besar soal perubahan. Dikotomi aktivis dan akademis terus digaungkan oleh birokrat. Seolah-olah jika kita menjadi penggiat wacana, pemburu diskusi, dan pecinta gerakan maka kita harus siap-siap ber-IPK rendah dan paling akhir selesai studi. Tugas utama kita hanyalah belajar, cepat selesai, dapat pekerjaan bagus, berkeluarga, punya kehidupan yang sukses, lalu mati. Alangkah lucu dikotomi dan stigma seperti ini. Sebab, bukankah seorang akademisi lah yang seharusnya berada di front terdepan dalam hal perubahan? Dialah yang lebih tahu. Dialah yang paham. Dan seharusnya, dialah yang lebih gelisah dan lebih aktif menggalang perubahan!

Akhirnya, budaya diskusi semakin terpojok di taman yang seharusnya menjadi ladang subur bagi dirinya. Budaya diskusi bukan hanya masalah sharing knowledge. Lebih dari pada itu, dia adalah pelecut bagi sebuah perubahan. Diskusi adalah sebuah karya peradaban yang sudah terbukti paling produktif dan solutif. Budaya diskusi seharusnya tidak kalah dengan budaya debat dan budaya-budaya tidak sehat yang kini juga mulai menjangkiti masyarakat kita. Sudah saatnya kita merasa terpanggil dengan kemirisan ini! atau, kita mungkin sudah begitu nyaman menjadi alien-alien yang bernama mahasiswa?

22 Februari 2011

Refleksi dari diskusi HIMAHI dept. Advokastra dan kajian strategis, pelataran Baruga Universitas Hasanuddin, pkl 16.00 – 18.00 WITA

Konflik mesir adalah ekskalasi yang nyata dari pengekangan selama tiga dasawarsa. Keamanan dan ketertiban memang berhasil diciptakan oleh pemerintahan Mubarak tapi tidak untuk kesejahteraan, keadilan dan kebebasan. Presentase jumlah kemiskinan sebanyak 40 % adalah jumlah yang fantastis jika dibandingkan dengan jumlah pemasukan negara seribu menara ini dibidang pariswisata, ekspor impor dan bantuan luar negeri.


Dengan catatan sejarah yang cukup panjang, Mesir menjadi negara rebutan banyak generasi. Setelah Moses/Musa, Paharaoh/fir’aun, Dinasati Islam/Abasyiah, Umayyah, Ustmaniah dan Ottoman, Mesir jatuh ketangan Eropa. Lantas seberapa pentingkah Mesir itu sendiri?? Pertanyaan tersebut terjawab dalam kutipan perkataan salah seorang Perdana Menteri Inggris pada tahun 1906;

“ there are people control special territories(Mesir) yang didalamnya adalah wilayah yang sangat melimpah sumber daya alamnya dan menguasai jalur internasional dan merupakan tempat awal munculnya peradaban besar dan pusat munculnya agama samawi. Dan jika wilayah tersebut dikuasai oleh suatu negara maka akan menjadi penentu dunia”

Dengan demikian, Mesir memang patut menjadi negara dengan kedudukan yang tidak kalah pentingnya di banding Amerika Serikat sebagai negara super power. Jalur terusan suez sebagai satu-satunya gerbang paling strategis yang menghubungkan lalu lintas perdagangan Eropa, Asia dan Afrika semakin menambah nilai plus Mesir. Perdagangan minyak disekitar Iraq, Iran dan Arab Saudi yang konsumennya berada di Eropa hanya akan melalui mesir! Daya tawar mesir menjadi sangat kuat. Selain hal tersebut, Mesir juga memegang posisi penting di kawasan Timur Tengah sebab menjadi percontohan bagi negara-negara di kawasan tersebut, mengingat prestasi Mesir dalam bidang pendidikan khususnya, sekaligus menjadi negara dengan latar belakang peradaban yang gemilang.

Namun sangat disayangkan, semua pencapaian-pencapaian tersebut, tidak dirasakan oleh 40% rakyat mesir yang masih berada di bawah garis kemiskinan, dengan pendapatan 2$ perhari. Tidak mengherankan kemudian, pergolakkan besar-besaran dari berbagai kalangan guna menuntut kemunduran Mubarak terjadi. Tetapi, ada beberapa keanehan dalam pergolakan/demonstrasi yang dilakukan tersebut. Salah satunya yaitu mengenai aktifitas demonstrasi yang di pusatkan di lapangan Taher, yang lokasinya sangat jauh dari ‘istana’ Mubarak. Tentu saja, hal ini tidak akan menimbulkan efek ketakutan pada pejabat korup mesir.


Muncul pertanyaan di benak kita semua, siapa dalang di balik semua permainan ini...Urgenitas yang dimiliki Mesir mendorong setiap negara untuk berlomba-lomba memikat bahkan menguasai Mesir, tidak pelaknya dengan Amerika. Fokus utama dalam pencapaian kepentingan AS di Mesir adalah melalui penempatan orang-orang yang sesuai dengan kepentingan AS di Mesir. Tidak hanya itu saja, the twin city, di gaza dan mesir ditutup oleh pemerintahan mesir dengan penjagaan yang berlapis, indikasinya sangat jelas, pemerintahan mesir yang korup mendapatkan banyak sekali bantuan militer dari AS (sebagian besar diselewengkan) untuk mereduksi perlawanan rakyat gaza dengan menutup akses makanan, obat2an, dan militer,


Hal menarik lainnya adalah adanya dugaan bahwa komplotan konspirasi telah merencanakan demo besar-besaran tersebut. Hal ini terbukti pada saat Condoleezza Rice masih menjadi mentri luar negeri USA, beliau mengundang perwakilan oposisi di mesir untuk datang ke White House, El-Baradei beberapa saat yang lalu telah melakukan pertemuan dengan pejabat Uni Eropa, dan tak lupa Mubarak yang merupakan sekutu Amerika namun Amerika menyadari menurunnya citra Mubarak di kalangan masyarakat Mesir akibat kediktatorannya, menjadikan AS perlu mengambil langkah antisipasi sebelum Mubarak benar-benar turun dari tahta kepresidenannya. Sesungguhnya Mubarak hanyalah tumbal dari semua kepentingan AS di mesir, dengan demikian siapapun yang menggantikan posisi Mubarak tidak akan membawa perubahan yang berarti bagi Mesir, selama masih berada di bawah payung kekuasan AS, dengan cara yang sudah tidak asing lagi di telinga kita yaitu dengan memecah belah kesatuan umat muslim, penanaman nilai2 liberal, mengamankan negara yang sangat strategis, dan tentunya masalah palestina. Tak ada seorangpun yang bisa meramalkan, apakah setelah masuk ke lubang Harimau, Mesir akan selamat atau bahkan masuk ke lubang buaya.