08 September 2011

KETIKA JEJARING SOSIAL MENUTUP MATA KITA


Kehadiran social networking (jejaring social) pada awalnya merupakan sebuah berkah tersendiri yang dirasakan oleh masyarakat banyak dengan kemudahan berinteraksi satu sama lain walaupun dipisahkan oleh jarak yang jauh, bahkan jejaring social tersebut mampu dimanfaatkan sebagai sarana mempromosikan barang. Arus globalisasi yang begitu pesat tiba-tiba saja menjadikan jejaring sosial sebuah tren di kalangan masyarakat Indonesia. Setiap orang kemudian merasa harus memiliki jejaring social jika tidak ingin dianggap sebagai orang yang ketinggalan zaman. Bahkan terkadang kita menemukan fenomena lucu di mana seseorang memiliki jejaring social, namun tidak tahu bagaimana cara mengoperasikannya karena menurut mereka yang terpenting adalah memiliki jejaring social tersebut sedangkan bagaimana memanfaatkan itu urusan belakang bahkan ada kecenderungan mereka tidak mau tahu. Fenomena-fenomena seperti ini muncul di tenga tekanan kehidupan masyarakat saat ini di mana eksistensi seseorang dapat dilihat dari kepemilikkan jejaring social. Hanya karena ingin dikatakan keren ketika menjawab “yah” dari pertanyaan seperti,”eh…ada twitter, facebook atau tumblr ta??” maka setiap orang berlomba-lomba untuk membuat jejaring social. Akhir-akhir ini mungkin kita kesulitan atau pura-pura tidak tahu untuk membedakan kebutuhan dan keinginan kita. Sekalipun kita tidak butuh terhadap suatu hal namun ada nilai prestisius dalam masyarakat ketika kita memilikinya, maka mau atau tidak mau kita akan memaksa raga kita untuk mencapai hal tersebut. Di sini tidak ada justifikasi bahwa jejaring social itu tidak penting tapi alangkah baiknya jika kita mengetahui manfaat dari jaring social itu sendiri sehingga ke depannya tidak ada hal yang sia-sia yang kita lakukan.

Di kalangan mahasiswa, jejaring social saat ini menjadi sebuah kebutuhan dalam menunjang aktifitas akademik. Selain itu, jejaring social dapat digunakan sebagai forum diskusi antar mahasiswa dari seluruh dunia demi membangun jaringan pertemanan di antara mereka sekalipun dipisahkan oleh jarak. Mungkin idealnya seperti itu, namun fenomena hari ini tidak lagi seperti itu. Kehidupan social kita yang masih bisa dijalin dengan bertatap muka seolah digantikan oleh jejaring social. Kita begitu menikmati hidup di dunia maya daripada hidup di dunia nyata. Harus kita sadari bahwa jika kita bertatap muka akan sangat berbeda jika dibandingkan dengan komunikasi melalui dunia maya. Bertatap muka dengan tatapan mata serta kejujuran dari ekspresi wajah tidak mungkin dapat digantikan dengan rentetan kata-kata yang kita ketik. Frekuensi diskusi koridor yang dimanfaatkan untuk bertukar pikiran dan menjalin hubungan social semakin berkurang dari hari ke hari karena banyak di antara kita saat ini lebih menikmati duduk sendiri hingga berjam-jam di depan laptop daripada harus menatap orang-orang di sekitar kita. Tidak jarang kita menemukan pemandangan jejeran orang dengan masing-masing laptop dalam pangkuannya duduk berjejer di koridor bahkan di taman kampus. Seruan seperti “teman-teman ayo diskusiii” sering ditanggapi dengan kata “soknya dehh atau duluanmi, masih onlineka belaa, nantipi saya baca resumenya saja”. Pemaknaan terhadap diskusi yang begitu sempit harus kita kaji ulang. Diskusi seolah di maknai sebagai suatu hal yang sangat berat dan terbatas pada hal-hal yang sifatnya bertukar pikiran saja. Padahal itu adalah persepsi yang kita bangun sendiri, diskusi sebenarnya menjadi wadah untuk saling bertemu sebagai upaya penciptaan hubungan social satu sama lain. Dan hal ini tidak mungkin tergantikan dengan kehadiran jejaring social.

Mahasiswa yang didengung-dengungkan sebagai seorang yang intelektual seharusnya mampu mengkaji dan mengantisipasi keterasingan yang ditimbulkan oleh penggunaan jejaring social yang berlebihan, jangan malah ikut terseret dalam jebakan globalisasi ini. Tapi harus diakui bahwa kondisi hari ini menunjukkan puncak kesuksesan jejaring social dengan menciptakan manusia-manusia individualistic. Masih adakah yang peduli terhadap sesamanya? Kalaupun ada, berapa banyak? Dalam pikiran sebagian besar orang yang penting adalah mereka masih bisa hidup sekarang dan hari esok, tidak peduli apa yang akan terjadi dengan orang lain. Mereka mungkin bahagia ketika di berada di dunia maya tapi apakah mereka sadar jika kebahagiaan yang mereka dapatkan juga hanya bersifat maya. Seorang mahasiswa adalah orang yang memiliki pengetahuan, jangan sampai menjadi budak dari benda mati yang seharusnya mampu kita kendalikan.

Kami tidak pernah menyudutkan jejaring social tapi sangat berharap para penggunanya mampu menempatkan diri serta tidak menutup diri. Dampak yang ditimbulkan dari jejaring social sebenarnya ada di tangan kita, apakah kita ingin mengarahkan pada hal yang akan membuat hidup kita lebih bermanfaat atau mungkin ingin mengasingkan diri kita dari kehidupan nyata. Mari menggunakan segala sesuatu sesuai dengan porsinya kawan!!!

DEPARTEMEN ADVOKASI DAN KAJIAN STRATEGIS HIMAHI FISIP UNHAS

Sejarah Mahasiswa Indonesia

Bagaimana Kabarmu Mahasiswa?

Sejarah Mahasiswa adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dengan sejarah pergerakan mahasiswa itu sendiri, karena eksistensi mahasiswa adalah manifestasi dari pergerakannya. Secara etimologi, mahasiswa terdiri dari kata maha dan siswa. Maha berarti amat, tinggi, atau besar, dan siswa adalah pelajar sekolah. Jadi mahasiswa adalah siswa/pelajar sekolah tinggi. Dan secara terminologi mahasiswa adalah sebutan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi.

Gerakan Mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.

Hiduupp Mahasiswa!!! Mungkin saya sudah mendengar jargon ini ditengah kerumunan orang yang memegang spanduk dan selebaran-selebaran karton yang juga berisi jargon-jargon. Jargon anti-kapitalisme dan juga anti-pemerintah yang otoriter. Juga dihiasi kepulan asap hitam berbau karet menyengat dari ban mobil yang sudah gundul. Ahh... sungguh pemandangan yang sangat indah dan tentu membakar semangat pemuda mahasiswa yang menyerukan kebebasan dari segala ketidakadilan.

Tidak lupa juga suara klakson dan keluhan dari pengguna jalan yang menggerutu. Atau geraman dari sopir angkutan umum yang terhalang untuk mencukupi setorannya hari ini. Memang Aksi membuat lalu lintas lumpuh sekitar beberapa menit dan beberapa menit setelahnya. Sekilas terdengar seperti paradoks yang saling bertentangan. Ketika sekumpulan mahasiswa yang rela berpeluh dan bermandi matahari demi kesejahteraan rakyat, justru menyusahkan rakyat itu sendiri.

Menyusahkan bagaimana? Apakah sama menyusahkannya dengan kelaparan? Atau sama menyusahkannya dengan tidak dapat berobat dan sekolah? Atau mungkin sama menyusahkannya dengan tidur beratap langit dan berlantai timbunan sampah? Mungkin beberapa menit dan beberapa menit setelahnya dari kepulan asap hitam yang menyengat serta carut marut lalu lintas mampu membuat apa yang orang-orang sebut dengan dunia, mampu mendengar walaupun hanya sedikit atau sedetik dari rintihan-rintihan yang menuntut keadilan? Sopir angkutan umum pun dan pengguna jalan lainnya melanjutkan perjalanan setelah api yang membara itu padam. Yah, apinya.

Pada hakikatnya Mahasiswa dalam tatanan sosial masyarakat memiliki posisi yang sentral seperti peran yang diembannya. Sering kita mendengar Agent of Change, Moral Force, dan Social Control. Agen perubahan dikala realitas kehidupan telah melenceng dari amanat konstitusi dan bahkan mencipta tatanan baru. Kalangan yang diberi hak sebagai motor kekuatan moral apabila bangsa telah amoral dan bahkan sebelum diambang amoral sekalipun. Kalangan yang harus mengamati realitas sosial dan bahkan pengurut sendi-sendi yang rapuh dalam bangsanya. Posisi mahasiswa sebagai kalangan yang independent dan seharusnya memang independent. Bukan mahasiswa seperti apa adanya tetapi bagaimana seharusnya sebagai kaum intelegensia yang diamanati Tri Dharma perguruan tinggi. Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian kepada masyarakat. Mungkin hal ini sering terngiang dan dibicarakan dalam kalangan mahasiswa. Namun, bagaimana masa depan peran ini? Apakah hanya akan menjadi jamur dan dianggap utopia dalam kehidupan mahasiswa dewasa ini?

Mahasiswa harus bebas dari berbagai intervensi politik apalagi terjun kedalam barang yang penuh lumpur itu, namun dituntut untuk mengambil langkah-langkah yang berarti politis. Langkah-langkah yang layaknya berasal dari posisi tengah,proporsional, bahkan memihak yang lemah tak berdaya dalam tatanan sosial masyarakat. Langkah-langkah yang harus dianalisis sebelum mengaktualisasikannya.

Ada beberapa hal yang menjadi penyebab hal yang sangat tidak diinginkan ini tercipta. Yang pertama, kalangan mahasiswa telah terinfeksi oleh organ-organ yang justru menghapus status pure-nya yang sentral. Banyak lembaga-lembaga mahasiswa yang terbelit organ-organ yang mempunyai orientasi politik. Mungkin inilah hal yang menjadi racun pahit yang membuat kalangan ini mengawang-awang diudara. Terkadang pula menjelma menjadi jembatan-jembatan yang mengagungkan usungannya. Sehingga terkesan menikmati kondisi ini. Yang kedua, kemerosotan budaya diskusi dan kajian fenomena kontemporer. Kalaupun ada ini hanya cenderung bersifat debat kusir. NATO. No Action, Talk Only. Begitu kiranya yang tepat untuk saat ini. Apalagi melahirkan solusi yang dapat di aktualisasikan untuk gerakannya, hampir nihil wahai pemuda! Mahasiswa yang dahulu yang dibanggakan karena keterpeduliannya, kini mahasiswa telah dimanjakan dengan kemajuan teknologi yang menggerus waktunya untuk memikirkan fungsi dan perannya yang kian surut dari terjangan ombak-ombaknya dahulu. Ombak yang dulunya mengantar perahu peradaban sosial. Dan ombak yang memecah karang-karang kapitalisme dan pemerintah yang otoriter. Dengan kondisi yang seperti inilah yang membuat kurangnya karya dan langkah pembelaan yang terkungkung oleh kaki tangan politik.

Sejak dahulu hingga kini sikap ini adalah pilihan dan akan tetap menjadi pilihan bagimu wahai pemuda. Menjadi sampah kapitalis yang apatis dan jembatan kungkungan politik? Ataukah menjadi mahasiswa yang punya naluri abadi.