17 Desember 2011

Perbudakan Dibalik Kemegahan Industri China


Zambia sebelum tahun 1928, ketika masih berada dibawah koloni Inggris, memiliki tambang tembaga yang berada di sepanjang wilayah perbatasan Zambia dan kongo “Copperbelt” yang menjadi aset utama dalam pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Laporan dari Bank dunia menyebutkan bahwa status Zambia telah naik dari negara dengan pendapatan rendah menjadi negara yang memiliki pendapatan menengah melalui pendapatan di pertambangan tersebut. Pertambangan telah menjadi sebuah kebudayaan tersendiri dimana tambang menjadi tulang punggung dalam sebuah keluarga di Zambia.

Pemerintah Zambia di bawah Kenneth Kaunda mengeluarkan kebijakan untuk menasionalisasi pertambangan tembaga yang sebelumnya di kontrol oleh 2 perusahaan yaitu the UK (and later Roan) Selection Trust dan the British-South African owned Anglo American Corporation akibat minimnya pemasukkan yang diberikan kepada negara dari kedua pertambangan tersebut. Kebijakan ini mengharuskan perusahaan tambang untuk menyediakan perumahan, makanan dan jaminan kesehatan bagi para pekerjanya. Tidak hanya itu, perusahaan juga harus menyediakan sarana infratruktur bahkan pusat olahraga

Jatuhnya harga tembaga dan rendahnya investasi modal telah membuat industri pertambangan dan perekonomian Zambia ambruk. Pendapatan per kapita Zambia turun sebanyak 50 persen sejak tahun 1974. Akibat tekanan dari Bank Dunia dan IMF, Zambia kemudian mulai mengadopsi program structural adjustment. Penjualan aset-aset negara di mulai sejak tahun 1997.

China merambah ke industri pertambangan di Zambia bersaing dengan para kompetitor lainnya dari India, Afrika Selatan, Switzerland dan Kanada, setelah dilakukannya privatisasi di Zambia. Di tahun 1998, perusahaan tambang non-ferrous China (CNMC) membeli pertambangan tembaga di Chambisi untuk melakukan kerjasama non-ferrous China-Afrika (NFCA) dan sebanyak $132 juta diperoleh ketika tambang ini kembali berproduksi pada tahun 2003 setelah terbengkalai selama 13 tahun. Di tahun 2006, dalam forum kerjasama Afrika-China terbentuklah Zambia-China Economic and Trade Cooperation Zone (ZCCZ). Besarnya pengaruh China di Zambia nampak dari keberadaan 4 perusahaan anak tambang yang bergerak di bawah kendali CNMC yaitu, NFCA, CLM, CCS, Sino Metals .

Human Watch melalui laporannya mengklasifikasikan beberapa bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh korporasi China melalui NFCA antara lain: pelanggaran terhadap perlindungan kesehatan dan keamanan, beban waktu kerja yang berlebihan serta pelarangan dan intimidasi terhadap aktifitas serikat buruh. Pertambangan tembaga membawa persoalan yang serius dalam hal kesehatan serta resiko keamanan. Aktifitas pertambangan yang terjadi di bawah tanah sangat berbahaya hal ini ditandai dengan tercatatnya 15 kematian di Zambia setiap tahun sejak tahun 2001. Para pekerja di pertambangan China memiliki sejumlah masalah kesehatan yang cukup serius seperti patah tulang hingga amputasi akibat tertimpa bebatuan, dan masalah pernapasan akibat minimnya ventilasi ketika bekerja di bawah tanah serta peralatan perlindungan kerja. Konvensi ILO no.176 menyebutkan bahwa pekerja di sebuah operasi pertambangan harus menginformasikan kepada pekerjanya jika terdapat kondisi membahayakan. Namun, dalam kasus ini, buruh di Zambia seringkali diperintahkan untuk berkerja meski dengan kondisi yang membahayakan hingga mengakibatkan kecelakaan kerja yang fatal. Pada april 2005 tercatat sebuah peristiwa kematian terbesar sepanjang sejarah industri pertambangan tembaga di Zambia yang menewaskan 46 pekerja Zambia akibat ledakan di sebuah pabrik manufaktur CNMC dekat NFCA. Di tahun berikutnya pada tanggal 25 Juli 2006 adanya protes dari para pekerja mengenai gaji rendah serta kondisi lingkungan kerja yang buruk. Para pekerja melakukan perusakkan kantor manager China pada malam harinya. Dan pada keesokan harinya sebanyak 6 pekerja mengalami penembakkan oleh manager China dan para pekerja yang melakukan protes di pecat. Para pekerja tambang di Zambia juga menghadapi masalah dengan waktu kerja dimana beberapa penambang bahkan bekerja 78 jam/minggu dengan hari kerja 365 hari/tahun tanpa libur. Kebanyakan penambang di Sino Metals bekerja selama 12 jam/hari dibawah kondisi kerja yang buruk. Para pekerja di tambang China bekerja dari jam 6 pagi hingga 6 malam namun terkadang harus menjalankan shif malam dengan bayaran sebesar $42 namun gaji yang mereka terima seringkali mengalami penurunan dengan tingkat kalkulasi yang tidak jelas. Para pekerja juga tidak diberikan kesempatan untuk beristirahat. Aktifitas serikat buruh juga tidak diperkenankan di perusahaan tambang China. Mineworkers Union of Zambia (MUZ) merupakan serikat buruh tertua di Zambia sejak 1948, selain itu terdapat National Union of Miners and Allied Workers (NUMAW) yang beroperasi sejak tahun 2003. Hak buruh untuk bergabung ke dalam serikat buruh dilindungi oleh UU ham dan buruh namun konsep tersebut tidak dipahami oleh China. Intimidasi dan berujung pada pengunduran diri seringkali diterima oleh para pekerja tambang yang diindikasikan menjadi bagian dari sebuah serikat.

Arah Baru Polugri Jepang


Salah satu kasus terhangat yang sedang menjadi pembicaraan di Jepang adalah sengketa yang terjadi antara Jepang dan Republik Rakyat China di wilayah laut China timur berfokus pada kepulauan Ryukyu, pulau Senkaku. Sengketa ini menjadi sebuah masalah yang urgent di Jepang sebab hal ini menyangkut kemampuan Jepang dalam menjaga stabilitas kedaulatan wilayahnya di tengah-tengah kondisi yang sedang bergejolak namun disisi lain terbatasi oleh konstitusi (pasal 9) serta ketergantungan akan aliansi militer dengan Amerika. Dijelaskan secara ringkas bahwa Laut China Timur dengan wilayah yang dipersengketakan yaitu kepulauan Ryukyu, pulau Senkaku disebelah selatan Okinawa berdasarkan Restorasi Meiji, ditandai sebagai bagian dari Prefektur Okinawa pada tahun 1979. Pulau Senkaku sendiri, berada di tengah tengah perbatasan antara Kerajaan Ryukyu dan Dinasti Qing dan terkenal dengan nama Sinon-Japanese boundaries dan diklaim oleh Jepang pada tanggal 14 Januari 1895. Kepemilikan Jepang atas Senkaku dibuktikan dengan adanya mercusuar yang dibangun pada tahun 1996 oleh sekelompok orang Jepang.
Sengketa yang terjadi antara Jepang dan China di awali tindakan illegal berupa pemancingan dari sejumlah nelayan China di wilayah Jepang serta adanya tindakan berlebihan China yang mengirimkan beberapa pesawat mata-mata di wilayah sengketa. Sengketa yang terjadi tentu tidak sebatas perebutan klaim wilayah kedaulatan namun yang menjadi penting yakni perebutan sumber energi dengan cadangan yang melimpah, sehingga meski pada tahun 2008 telah disepakatinya perjanjian kerjasama mengenai pengolahan gas alam disekitar pulau Senkaku namun hingga kini China kembali bersikeras terhadap pendiriannya untuk menguasai seluruh wilayah perairan yang ada.
Sengketa yang terjadi menimbulkan sejumlah argumentasi dalam tubuh pemerintahan Jepang dalam mencari solusi penyelesaian yang ada. Untuk pihak oposisi sendiri yang dipimpin oleh Nobuteru Ishihara dari partai liberal mengusulkan agar dibangunnya pangkalan militer Jepang di wilayah persengketaan. Langkah ini dianggap perlu bagi kaum oposisi dalam menyikapi kebangkitan China. Terlebih lagi dengan adanya aktifitas China yang sedang giat giatnya membangun angkatan lautnya dengan membeli super kilo yang didesain untuk pengarahan militer terhadap Taiwan. Selain itu hal ini dipicu oleh membesarnya porsi anggaran militer China yang naik 14,9 persen pada tahun 2009. Pada Tahun 2009 Pemerintah China menaikkan anggaran militernya mencapai 480,686 miliar yuan (70,2 miliar dolar AS), meningkat 62,482 miliar yuan dari 2008, Kemudian pada tahun 2010 ini, Pemerintah China meningkatkan lagi anggaran pertahannya sebesar 10% dari 84,9 miliar dollar tahun lalu untuk anggaran militer tahun 2010. Adanya keinginan China untuk memperluas kekuatan pertahanan lautnya ke wilayah Pasifik Barat mendorong China harus menggerakkan submarinenya ke wilayah armada lautnya yang lain, dengan melewati Kepulauan Ryukyu.
LDP sebagai sebuah partai oposisi yang cukup konservatif berpendapat bahwa kebijakan untuk membangun pangkalan militer di Jepang berguna dalam melakukan kontrol penuh terhadap Senkaku serta akan difungsikan sebagai pos permanen bagi Self Defence Force dalam menjaga kestabilan di area tersebut. Dalam menganalisa kebijakan seorang Nobuteru Ishihara yang merupakan anak dari Shintaro Ishihara seorang negarawan yang dikenal sebagai sosok nasionalis yang sangat blak blakan bahkan seringkali menciptakan kontroversi dengan argumennya agar Jepang mengembangkan senjata nuklirnya dan mengurangi ketergantungannya akan aliansi militernya dengan Amerika Serikat, nampaknya Ishihara muda tidak lebih reaktif. Ishihara muda menyatakan bahwa partai liberal dibawah kepemimpinannya tidak akan membahas mengenai persoalan pengembangan senjata nuklir bagi Jepang namun disisi lain, mendorong dinaikkannya anggaran pertahanan bagi Jepang merupakan salah satu fakta dimana kecenderungannya dalam melihat masa depan militer Jepang yang lebih Independen.
Pemerintah Jepang sendiri berpendapat bahwa aliansi Jepang dengan Amerika masih dapat dimanfaatkan dalam membendung pengaruh China di kawasan tersebut, terlebih lagi dengan adanya dukungan Amerika terhadap Jepang serta adanya reaksi negatif dari dunia Internasional akibat kebijakan China yang menggertak Jepang dengan beberapa kali mengirimkan pesawat mata-mata ke wilayah yang dipersengketakan. Secara gamblang disimpulkan bahwa ketika adanya ancaman kedaulatan Jepang yang sudah tentu berkaitan dengan militer terganggu, maka sudah pasti akan berhadapan dengan Amerika. Namun disisi lain,, ketika strategi militer menjadi pilihan Jepang untuk mengamankan akses energi, maka kebutuhan pengembangan persenjataan menjadi sebuah keharusan. Pemerintah Jepang tentu saja menyedari hal tersebut. Diberitakan dalam sebuah media cetak di Jepang, Yomiuri yang melaporkan bahwa adanya keinginan pihak Jepang untuk membeli pesawat tempur Lockheed Martin F-35 stealth fighter dalam memperkuat angkatan udaranya, dengan harga yang diperkirakan mencapai miliyaran dolar. Namun nampaknya kementerian pertahanan Jepang tidak ingin menyebar luaskan hal tersebut. Menurut sumber juga disebutkan bahwa Jepang berniat untuk membeli 40 jet tempur senilai 8 miliar dolar.
Jepang merupakan sebuah negara yang sangat berpotensi dalam memiliki armada militer yang kuat dan independen namun aliansi militer yang telah terbangun membatasi potensi tersebut untuk berkembang. Disisi lain, hal tersebut juga disebabkan oleh tidak adanya kesamaan visi dalam lingkup domestik Jepang mengenai arah militer Jepang. Namun dengan melihat kondisi stabilitas regional yang sewaktu-waktu dapat menegang bahkan di beberapa negara telah terjadinya konfrontasi, hal ini tentu berefek pada bagaimana Jepang harus mengamankan diri sendiri dengan mengurangi ketergantungan aliansi militernya dengan Amerika. Jika kondisi ketegangan di wilayah regional semakin meningkat maka hal ini bisa saja menggiring Jepang dalam membentuk Format Self Defence Force yang lebih mapan tidak hanya dalam segi kuota namun juga instrumen-intrumen militer yang lebih canggih. Terlebih lagi dengan keberadaan LDP di Jepang yang lebih berorientasi terhadap militer Jepang yang lebih independen, hal ini dapat menjadi sebuah arah kebijakan politik baru jika LDP mampu menguasai kursi perdana menteri Jepang dan mendominasi parlemen Jepang.