12 Desember 2009



"PERLAWANAN TERHADAP NEOLIBERALISME DI AMERIKA LATIN"
Januari - Juni 2010

Globalisasi Membawa Ketidakadilan - lagi?

Globalisasi ala Barat menyimpan makna serta nilai-nilai yang dibawa, seperti sistem ekonomi kapitalisme dengan mekanisme pasar bebas sebagai program utama didalamnya. Fenomena globalisasi bukanlah kejadian yang terjadi begitu saja, namun Sesuatu yang terkonsep dan dikonstruksikan sebelumnya. Dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi manusia, globalisasi kemudian menjelma menjadi alat bagi kepentingan pihak-pihak yang menguasainya. Jadi, pertanyaannya sekarang adalah globalisasi yang sedang terjadi saat ini sedang memihak kemana, ke Negara-Negara Miskin/Berkembang, ataukah ke Negara-Negara Maju saja? Dan berdasar pada fakta dan realitas dunia saat ini, Globalisasi memang tengah memihak pada kaum kapitalis.
Jika melihat fenomena globalisasi, dapat dilihat adanya kesamaan yang mendasar antara globalisasi dan sistem ekonomi liberal yang digembar-gemborkan oleh negara-negara maju kepada dunia. Dari kesamaan banyak ahli ekonomi politik kemudian menyimpulkan ini lebih jauh lagi, bahwa globalisasi bukanlah secara kebetulan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan kaum liberal, tetapi memang adalah sebuah hal yang diciptakan dan diproyeksikan nantinya dapat mempermudah para kapitalis dalam memperluas pasarnya. Namun, terlepas dari anggapan itu, kesamaan antara globalisasi dan paham liberalis membuat kita sadar bahwa globalisasi bukan untuk memperbaiki semua pihak masyarakat dunia.
Pertanyaan selanjutnya yang harus dikaji adalah, ketika globalisasi sudah menjadi instrumen penopang kapitalisme, bagaimana dengan negara berkembang, mengingat salah satu agenda utama kapitalisme adalah ekspansi pasar negara-negara miskin/berkembang. Kali ini tinjauannya akan lebih dispesifikkan pada pembahasan masalah perlindungan atas hak kekayaan intelektual (HKI) untuk barang-barang yang diperdagangkan.
Disepakatinya Persetujuan mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) adalah dimana perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan bagian integral dari system perdagangan dunia (WTO). Persetujuan TRIPs merupakan salah satu dari tiga pilar WTO, dua pilar lainnya dalah Persetujuan baru mengenai Perdagangan Jasa. Disepakatinya TRIPs tersebut sebagai salah satu tombak pencapaian cita-cita liberalisme internasional dalam mengatur perdagangan internasional.
Berdasarkan kesepakatan TRIPs, artinya jika salah satu pihak menghasilkan sebuah karya pemikiran, termasuk teknologi, maka pihak lain tidak bisa mencontek atau alih teknologi tanpa izin dari pihak yang memiliki memiliki perlindungan HAKI tersebut. Aturan ini kemudian muncul karena adanya keresahan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat adanya pencontekan atas teknologi yang mereka miliki.
Menghasilkan sebuah teknologi itu butuh dana yang sangat besar, mulai dari penelitian, perakitan, sampai pada proses akhir dimana teknologi yang dihasilkan siap untuk digunakan. Akan tetapi, ketika teknologi tersebut dilempar ke pasaran ternyata sudah ada samanya dengan harga yang lebih murah, karena pihak yang mencontek teknologi tidak butuh dana besar, jadi bisa menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah. Jelas ini menimbulkan kerugian bagi penemu teknologi tersebut.
Penggunaan teknologi yang sama dengan harga yang lebih murah seperti ini (politik dumping) seperti ini banyak dipraktekkan oleh Cina, Produk produk tekhnologi Cina perlahan lahan mulai menguasai pasar Asia, karena harganya yang lebih murah dibanding produk asal Amerika dan Eropa, tetapi kualitasnya yang tidak jauh berbeda. Kondisi seperti inilah yang coba untuk direduksi oleh WTO dan kroni kroninya.
Kebijakan untuk meregistrasikan setiap barang perdagangan guna mendapatkan HKI memang adalah hal yang positif. Namun, jika ini dibenturkan pada kesiapan masing-masing negara di dunia yang tidak beragam, maka seperti biasa, Globalisasi hanya akan membawa kita pada suatu ketidakadilan.
Perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) seperti ini juga sangat berdampak bagi masyarakat negara berkembang. Jika kita memperhatikan arah aturan ini, maka akhirnya kita akan terbentur pada statement bahwa HKI hanya akan menguntungkan negara negara maju dengan modal yang besar. Bagaimana tidak, jika teknologi maju hanya bisa dihasilkan dengan dana besar, maka hanya pihak yang punya modal kuatlah yang akan memonopoli ilmu pengetahuan. Dengan begitu negara berkembang yang notabene belum mapan secara ekonomi akan diarahkan kepada tahap konsumsi saja, dalam artian masyarakat negara berkembang hanya akan menikmati hasil dari teknologi tersebut tanpa adanya usaha untuk alih tekhnologi sehingga nantinya bisa dibuat sendiri. Dalam aturan ini, masyarakat negara berkembang memang “dipaksa” untuk menjadi pasar bagi produk-produk negara maju.

ditulis oleh: Awal Miftah Ridha & Nur Utaminingsih

Departemen Advokasi dan Kajian Strategis
Himahi FISIP Unhas

Pendidikan dalam Gelombang Globalisasi

Tujuan terpenting pendidikan adalah belajar bagaimana belajar (Luis Alberto Machado, Ph.D)
Globalisasi merupakan hasil dari tindakan manusia dan bukan merupakan proses alami. Dalam pengertiannya bahwa globalisasi merupakan percampuran antara kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi yang menghiasi hubungan internasional. Dan ia pun tidak lepas dari nilai-nilai yang bersembunyi dalam jubahnya. Ibaratnya dua sisi mata uang, terdapat ambivalensi nilai. Sebuah nilai negatif bertetangga dengan nilai positif di sisi lain. Menurut Rosabeth Moss Kanter, Globalisasi menunjukkan bahwa dunia menjadi tempat perbelanjaan global dimana ide-ide dan produksi tersedia dimana-mana dalam waktu yang bersamaan (Ikbar. 2006. Ekonomi Politik Internasional 1. Hlm. 205)
Adalah watak ganda tersebut, yaitu globalisasi menghadirkan pesona “kecepatan” yang akan berlawanan dengan masalah kedangkalan pemahaman dan pengetahuan tetangnya. Tidak meratanya mutu pendidikan disetiap negara, apalagi negara maju dan berkembang turut mempengaruhi penerimaan “tamu” globalisasi. Negara yang tingkat pendidikannya rendah belum waktunya menerima globalisasi. Yang akhirnya hanya sebagai penonton dan korban.
Dalam dunia yang dikatakan modern ini, masih terdapat negara-negara yang penduduknya masih buta aksara. Menurut data dari Bank Dunia, dari 1,2 milyar penduduk dunia yang dinyatakan miskin, 80 persen diantaraya terdapat di 12 negara berkembang. Demikian pula dengan jumlah penduduk buta aksara, dari 885 juta, sebagian besar dari mereka tersebar di negara-negara Asia dan Afrika. Di Asia Selatan, jumlah penduduk buta huruf mencapai 109 juta, dari negara-negara Arab 98 juta orang, negara-negara Afrika sub Sahara merupakan kawasan negara yang tingkat buta aksaranya paling tinggi berkisar 40 persen hingga 50 persen, di Mali peringkat 175 hanya 19 persen yang melek huruf, Nigeria 14,4 persen yang melek huruf, dan burkina Faso 12,8 persen.
Dengan adanya globalisasi, pemerintah dituntut untuk dan semestinya meningkatkan mutu pendidikan. Dengan lancarnya arus informasi kita bisa mengetahui sistem pendidikan dinegeri lain. Misalnya sistem pendidikan Jepang yang cenderung tradisionalistik yaitu disiplin, hapalan dan daya ingat sedangkan Amerika yang bebas, mandiri dan kreatifitas individual. Untuk itu sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah, budaya, dan kebutuhannya sendiri.
Salah satu contoh peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan pergantian kurikulum sekolah. Pergantian kurikulum dari Kurikulum 1994 ke Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum yang baru terjadi perubahan sistem caturwulan ke sistem semester. Dalam Kurikulum 1994, pengajaran hanya berfokus satu arah saja yakni menerima materi dari guru saja. Sedangkan dalam KBK, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTEK tanpa meninggalkan kerjasama dan solidaritas, meski terdapat kompetensi. Dan Kurikulum Satuan Pendidikan yang berlaku pada tahun ajaran 2006/2007 yang lebih mandiri karena diserahkan sepenuhnya kepada sekolah dengan pertimbangan komite sekolah. Baru-baru ini, pemerintah kalah kasasi tentang pengadaan UN yang dianggap tidak relevan. Alasannya karena UN tidak mewakili pelajaran sekolah dan alasan psikologis siswa.
Salah satu poin globalisasi adalah liberalisasi pendidikan. Di Indonesia dikenal dengan istilah BHP, Badan Hukum Pendidikan. BHP merupakan bentuk status lembaga formal di Indonesia berbasis pada otonomi dan nirlaba, sesuai dengan Undang-undang Nomor 09 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, disahkan oleh DPR pada tanggal 17 Desember 2008. Untuk pendidikan tinggi, BHP merupakan perluasan dari status BHMN yang dianggap cenderung komersial, dengan alasan peningkatan mutu pendidikan.
Pengaruh globalisasi lainnya adalah pemisahan antara kecerdasan dan moral. Dengan globalisasi, persaingan tidak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Sehingga aspek moralitas mulai dilupakan. Maka tidak heran banyak pemikir-pemikir cerdas yang pengetahuannya untuk merusak. Pribadi yang cerdas namun tidak perduli dengan nasib saudaranya yang dilanda kemiskinan. Jadi hanya memenuhi kebutuhan pribadi dan melahirkan pribadi yang beku rasa sosial.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana agar siswa lulusan sekolah kita bisa memasuki jaring laba-laba global? Mapukah kita bersaing dengan kemampuan dan kecerdasan yang tinggi? Pertanyaan inilah yang santer diungkapkan segelintir orang ditengah tidak siapnya banyak aktor pada komunitas sekolah menyeberangi arus globalisasi yang sarat tantangan dan mengandalkan kompetensi dan profesionalitas personal.
Untuk itu perlunya pendidikan khas berkarakter yang bebasis kecerdasan akal, mental, dan moral. Kombinasi tepat dan ideal yang harus diterapkan kepada anak-anak didik. Pemeretaan pendidikan di setiap daerah harus menjadi prioritas pemerintah serta menerapkan anggaran pendidikan 20 persen. Tuntutan atas peningkatan mutu pendidikan dalam menghadapi situasi ini harus menjadi perhatian pemerintah dan kesadaran masyarakat. Pendidikan tidak hanya berorientasi kepada hasil tapi lebih ditekankan kepada proses. Jadi kita harus mengambil positif dari era globalisasi dengan memanfaatkan potensi yang kita miliki. Pendidikan bukan arena program 5 tahun jabatan presiden yang sarat akan muatan politik. Namun pendidikan diarahkan mampu menciptakan generasi produktif serta bertanggung jawab.


ditulis oleh : Pandu Prayoga

Departemen Advokasi dan Kajian Strategis
Himahi FISIP Unhas

Globalisasi dan Proses Pemikiran Negara Berkembang

by line: Hasbi Aswar

Setelah perang dunia dua negara-negara yang ada di eropa hancur lebur dari segala aspek, ekonomi, militer dan politik. Ini yang menjadikan negara-negara Eropa yang dominan adalah negara colonial dan memiliki daerah jajahan diberbagai belahan dunia terpaksa harus keluar dari wilayah-wilayah jajahannya. Kemudian berdirilah negara-negara baru di benua Afrika, Asia dan Amerika.
Tentunya sebagai negara-negara yang baru berdiri mereka butuh sesuatu untuk membangun negaranya untuk menunjang pembangunan negaranya. Di sinilah amerika serikat mengirimkan agen-agennya untuk mempengaruhi pemikiran pemimpin negara-negara yang baru berdiri ini untuk bekerjasama dengan Amerika Serikat. Hal ini diungkap dengan jelas oleh seorang mantan agen atau disebut bandit ekonomi, yang bernama John Perkins dalam bukunya, Confession of an Economic Hitman.
Dalam bukunya Perkins mengungkap perselingkuhan korporasi, pemerintah dan intelektual untuk menguasai sebuah negara. para intelektual-intelektual tersebut mendatangi setiap negara-negara yang baru merdeka; memperkenalkan konsep pembangunan dengan melakukan pembangunan infrastruktur sebanyak-banyaknya , jalan raya, pelabuhan, bandara pembangkit listrik dsb.
Negara-negara yang kemudian menyetujui hal tersebut akan diberikan hutang dari institusi keuangan global, IMF, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Hutang inipun tidak secara gratis diberikan tapi diikuti dengan berbagai persyaratan-persyaratan atau disebut Structural Adjustment Program . Program penyesuaian struktural dimana setiap negara penghutang harus tunduk pada aturan-aturan liberalisme; pengurangan peran negara dalam pengelolaan sumber dayanya, membuka usaha-usaha milik negara untuk dimiliki oleh pihak swasta, Privatisasi, merevisi undang-undang yang dianggap menghambat korporasi, deregulasi dan banyak lagi kebijakan-kebijakan lainnya. sampai saat ini pola-pola kerja Amerika Serikat dalam berekspansi secara ekonomi dengan cara-cara tadi.
Negara Berkembang terjebak Permainan Globalisasi Kapitalisme
Di Meksiko, tahun 1982 Meksiko mengumumkan bahwa negaranya krisis utang, dimana meksiko tidak mampu lagi membayar utangnya. Maka, Meksiko mengundang IMF untuk memberikan bantuan atasnya. Saat itu IMF memberikan sekitar 3,9 miliar dollar As dengan persyaratan yang telah dibuat oleh lembaga ini seperti, reformasi pasar, pemotongan subsidi dan privatisasi.
Sejak tahun 1983 meksiko sudah memprivatisasi sekitar 1000 BUMNya hal ini sangat menyiksa masyarakat meksiko karena mereka harus membeli produk swasta yang pasti mengejar keuntungan. Dalam hal pemotongan subsidi. Masyarakat Meksiko rela untuk meninggalkan profesinya sebagai petani jagung karena pemerintah tidak lagi memberikan bantuan yang memadai bagi mereka. Juga, serbuan produk jagung yang murah dari AS yang sudah disubsidi membuat produk lokal tidak bersaing.
Di Afrika lain lagi ceritanya, sebagai negara-negara yang terkenal dengan tingkat penderita AIDS yang sangat tinggi negara-negara di Afrika, negara ini mau tidak mau harus menerima tawaran dari lembaga-lemabaga donor internasional dan yang pasti kesepakatan-kesepakatan tentang Structural adjustment program tidak pernah ketinggalan.
Pembayaran hutang saja oleh negara-negara Afrika itu sudah menguras sebagian dari anggaran pembelanjaan negara. Tanzania sebagai salah satu negara di Afrika, delapan persen rakyatnya menderita AIDS, tahun 1993 tanzania harus membayar sekitar 3,1 persen produk domestic brutonya untuk pembayaran hutang dan hanya 1,3 persen untuk layanan kesehatan.
Dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang lain seperti pengurangan subsidi, hal ini juga semakin memperparah kondisi negara-negara di Afrika. Pengurangan subsidi pertanian di Zimbabwe telah menaikkan harga pangan di negara tersebut sehingga masyarakat harus mengurangi jatah makan mereka menjadi dua kali sehari. Ini sangat membuat masyarakat menjadi malnutrisi dan semakin memperbesar kemungkinan AIDS akan terus mewabah . salah seorang direktur AIDS PBB, Dr. Peter Piot mengatakan bahwa “ penyesuaian struktural meningkatkan masalah-masalah tertentu bagi pemerintah karena kebanyakan dari factor-faktor yang memicu wabah AIDS adalah juga factor-faktor yang terkena dampak program penyesuaian struktural.
Di Indonesia sebagai salah satu negara di Asia dan bersahabat baik dengan rezim kapitalisme global hingga saat ini jelas terlihat seberapa besar pengaruh dari structural adjustment program terhadap negara ini. awal-awal naiknya penguasa orde baru ke kursi kekuasaannya pemerintah baru ini dengan segera berpaling dan sangat pro terhadap kebijakan liberalisme yang ditawarkan oleh Amerika Serikat. Maka, pada tahun 1967 di sebuah pertemuan di Genewa, Swiss disponsori oleh sebuah korporasi besar, Long Life Corporation, disitulah Indonesia dibagi-bagi oleh para pemilik korporasi besar tersebut. Salah satunya adalah gunung emas di Papua yang diberikan kepada PT. Freeport Mc Moran.
Setelah itu berbagai kebijakan-kebijakan kemudian saling susul- menyusul ke Indonesia apalagi setelah krisis moneter 1998 dimana Indonesia harus kembali meminta petunjuk ke lembaga keuangan internasional, IMF. Indonesia semakin harus memberikan segala yang ada di dirinya untuk dinikmati oleh orang-orang asing dengan alasan hutang yang bersyarat. Undang-Undang Penanaman Modal ASing, Undang-Undang Privatisasi, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, kebijakn ekspor impor kesemuanya tidak lepas dari kepentingan-kepentingan kapitalisme global. Hasilnya adalah indonesia yang kaya raya hingga saat ini masih berkubang dalam lumpur hidup yang terus menerus menghisap dan akan membunuhnya. Hingga saat ini jumlah orang miskin di Indonesia yang menurut standar Bank Dunia US$ 2/perhari mencapai seperdua dari masyarakat Indonesia yang ada saat ini. belum lagi pelayanan sosial masyarakat, Pendidikan, kesehatan, dsb kesemuanya sangat memperihatinkan bagi kita sebagai orang Indonesia .
Globalisasi yang membawa nafas kapitalisme saat ini ternyata tidak memberikan dampak positif apa-apa bagi negara-negara berkembang utamanya dalam hal pembangunan ekonomi dan pelayanan sosial bagi masyarakat.