12 Desember 2009

Pendidikan dalam Gelombang Globalisasi

Tujuan terpenting pendidikan adalah belajar bagaimana belajar (Luis Alberto Machado, Ph.D)
Globalisasi merupakan hasil dari tindakan manusia dan bukan merupakan proses alami. Dalam pengertiannya bahwa globalisasi merupakan percampuran antara kekuatan ekonomi dan kemajuan teknologi yang menghiasi hubungan internasional. Dan ia pun tidak lepas dari nilai-nilai yang bersembunyi dalam jubahnya. Ibaratnya dua sisi mata uang, terdapat ambivalensi nilai. Sebuah nilai negatif bertetangga dengan nilai positif di sisi lain. Menurut Rosabeth Moss Kanter, Globalisasi menunjukkan bahwa dunia menjadi tempat perbelanjaan global dimana ide-ide dan produksi tersedia dimana-mana dalam waktu yang bersamaan (Ikbar. 2006. Ekonomi Politik Internasional 1. Hlm. 205)
Adalah watak ganda tersebut, yaitu globalisasi menghadirkan pesona “kecepatan” yang akan berlawanan dengan masalah kedangkalan pemahaman dan pengetahuan tetangnya. Tidak meratanya mutu pendidikan disetiap negara, apalagi negara maju dan berkembang turut mempengaruhi penerimaan “tamu” globalisasi. Negara yang tingkat pendidikannya rendah belum waktunya menerima globalisasi. Yang akhirnya hanya sebagai penonton dan korban.
Dalam dunia yang dikatakan modern ini, masih terdapat negara-negara yang penduduknya masih buta aksara. Menurut data dari Bank Dunia, dari 1,2 milyar penduduk dunia yang dinyatakan miskin, 80 persen diantaraya terdapat di 12 negara berkembang. Demikian pula dengan jumlah penduduk buta aksara, dari 885 juta, sebagian besar dari mereka tersebar di negara-negara Asia dan Afrika. Di Asia Selatan, jumlah penduduk buta huruf mencapai 109 juta, dari negara-negara Arab 98 juta orang, negara-negara Afrika sub Sahara merupakan kawasan negara yang tingkat buta aksaranya paling tinggi berkisar 40 persen hingga 50 persen, di Mali peringkat 175 hanya 19 persen yang melek huruf, Nigeria 14,4 persen yang melek huruf, dan burkina Faso 12,8 persen.
Dengan adanya globalisasi, pemerintah dituntut untuk dan semestinya meningkatkan mutu pendidikan. Dengan lancarnya arus informasi kita bisa mengetahui sistem pendidikan dinegeri lain. Misalnya sistem pendidikan Jepang yang cenderung tradisionalistik yaitu disiplin, hapalan dan daya ingat sedangkan Amerika yang bebas, mandiri dan kreatifitas individual. Untuk itu sistem pendidikan untuk suatu bangsa harus sesuai dengan falsafah, budaya, dan kebutuhannya sendiri.
Salah satu contoh peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah dengan pergantian kurikulum sekolah. Pergantian kurikulum dari Kurikulum 1994 ke Kurikulum 2004 atau Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum yang baru terjadi perubahan sistem caturwulan ke sistem semester. Dalam Kurikulum 1994, pengajaran hanya berfokus satu arah saja yakni menerima materi dari guru saja. Sedangkan dalam KBK, para murid dituntut aktif mengembangkan keterampilan untuk menerapkan IPTEK tanpa meninggalkan kerjasama dan solidaritas, meski terdapat kompetensi. Dan Kurikulum Satuan Pendidikan yang berlaku pada tahun ajaran 2006/2007 yang lebih mandiri karena diserahkan sepenuhnya kepada sekolah dengan pertimbangan komite sekolah. Baru-baru ini, pemerintah kalah kasasi tentang pengadaan UN yang dianggap tidak relevan. Alasannya karena UN tidak mewakili pelajaran sekolah dan alasan psikologis siswa.
Salah satu poin globalisasi adalah liberalisasi pendidikan. Di Indonesia dikenal dengan istilah BHP, Badan Hukum Pendidikan. BHP merupakan bentuk status lembaga formal di Indonesia berbasis pada otonomi dan nirlaba, sesuai dengan Undang-undang Nomor 09 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, disahkan oleh DPR pada tanggal 17 Desember 2008. Untuk pendidikan tinggi, BHP merupakan perluasan dari status BHMN yang dianggap cenderung komersial, dengan alasan peningkatan mutu pendidikan.
Pengaruh globalisasi lainnya adalah pemisahan antara kecerdasan dan moral. Dengan globalisasi, persaingan tidak hanya berasal dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Sehingga aspek moralitas mulai dilupakan. Maka tidak heran banyak pemikir-pemikir cerdas yang pengetahuannya untuk merusak. Pribadi yang cerdas namun tidak perduli dengan nasib saudaranya yang dilanda kemiskinan. Jadi hanya memenuhi kebutuhan pribadi dan melahirkan pribadi yang beku rasa sosial.
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana agar siswa lulusan sekolah kita bisa memasuki jaring laba-laba global? Mapukah kita bersaing dengan kemampuan dan kecerdasan yang tinggi? Pertanyaan inilah yang santer diungkapkan segelintir orang ditengah tidak siapnya banyak aktor pada komunitas sekolah menyeberangi arus globalisasi yang sarat tantangan dan mengandalkan kompetensi dan profesionalitas personal.
Untuk itu perlunya pendidikan khas berkarakter yang bebasis kecerdasan akal, mental, dan moral. Kombinasi tepat dan ideal yang harus diterapkan kepada anak-anak didik. Pemeretaan pendidikan di setiap daerah harus menjadi prioritas pemerintah serta menerapkan anggaran pendidikan 20 persen. Tuntutan atas peningkatan mutu pendidikan dalam menghadapi situasi ini harus menjadi perhatian pemerintah dan kesadaran masyarakat. Pendidikan tidak hanya berorientasi kepada hasil tapi lebih ditekankan kepada proses. Jadi kita harus mengambil positif dari era globalisasi dengan memanfaatkan potensi yang kita miliki. Pendidikan bukan arena program 5 tahun jabatan presiden yang sarat akan muatan politik. Namun pendidikan diarahkan mampu menciptakan generasi produktif serta bertanggung jawab.


ditulis oleh : Pandu Prayoga

Departemen Advokasi dan Kajian Strategis
Himahi FISIP Unhas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar