12 Desember 2009

Globalisasi Membawa Ketidakadilan - lagi?

Globalisasi ala Barat menyimpan makna serta nilai-nilai yang dibawa, seperti sistem ekonomi kapitalisme dengan mekanisme pasar bebas sebagai program utama didalamnya. Fenomena globalisasi bukanlah kejadian yang terjadi begitu saja, namun Sesuatu yang terkonsep dan dikonstruksikan sebelumnya. Dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan serta teknologi manusia, globalisasi kemudian menjelma menjadi alat bagi kepentingan pihak-pihak yang menguasainya. Jadi, pertanyaannya sekarang adalah globalisasi yang sedang terjadi saat ini sedang memihak kemana, ke Negara-Negara Miskin/Berkembang, ataukah ke Negara-Negara Maju saja? Dan berdasar pada fakta dan realitas dunia saat ini, Globalisasi memang tengah memihak pada kaum kapitalis.
Jika melihat fenomena globalisasi, dapat dilihat adanya kesamaan yang mendasar antara globalisasi dan sistem ekonomi liberal yang digembar-gemborkan oleh negara-negara maju kepada dunia. Dari kesamaan banyak ahli ekonomi politik kemudian menyimpulkan ini lebih jauh lagi, bahwa globalisasi bukanlah secara kebetulan ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan kaum liberal, tetapi memang adalah sebuah hal yang diciptakan dan diproyeksikan nantinya dapat mempermudah para kapitalis dalam memperluas pasarnya. Namun, terlepas dari anggapan itu, kesamaan antara globalisasi dan paham liberalis membuat kita sadar bahwa globalisasi bukan untuk memperbaiki semua pihak masyarakat dunia.
Pertanyaan selanjutnya yang harus dikaji adalah, ketika globalisasi sudah menjadi instrumen penopang kapitalisme, bagaimana dengan negara berkembang, mengingat salah satu agenda utama kapitalisme adalah ekspansi pasar negara-negara miskin/berkembang. Kali ini tinjauannya akan lebih dispesifikkan pada pembahasan masalah perlindungan atas hak kekayaan intelektual (HKI) untuk barang-barang yang diperdagangkan.
Disepakatinya Persetujuan mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) adalah dimana perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan bagian integral dari system perdagangan dunia (WTO). Persetujuan TRIPs merupakan salah satu dari tiga pilar WTO, dua pilar lainnya dalah Persetujuan baru mengenai Perdagangan Jasa. Disepakatinya TRIPs tersebut sebagai salah satu tombak pencapaian cita-cita liberalisme internasional dalam mengatur perdagangan internasional.
Berdasarkan kesepakatan TRIPs, artinya jika salah satu pihak menghasilkan sebuah karya pemikiran, termasuk teknologi, maka pihak lain tidak bisa mencontek atau alih teknologi tanpa izin dari pihak yang memiliki memiliki perlindungan HAKI tersebut. Aturan ini kemudian muncul karena adanya keresahan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat adanya pencontekan atas teknologi yang mereka miliki.
Menghasilkan sebuah teknologi itu butuh dana yang sangat besar, mulai dari penelitian, perakitan, sampai pada proses akhir dimana teknologi yang dihasilkan siap untuk digunakan. Akan tetapi, ketika teknologi tersebut dilempar ke pasaran ternyata sudah ada samanya dengan harga yang lebih murah, karena pihak yang mencontek teknologi tidak butuh dana besar, jadi bisa menjualnya dengan harga yang jauh lebih murah. Jelas ini menimbulkan kerugian bagi penemu teknologi tersebut.
Penggunaan teknologi yang sama dengan harga yang lebih murah seperti ini (politik dumping) seperti ini banyak dipraktekkan oleh Cina, Produk produk tekhnologi Cina perlahan lahan mulai menguasai pasar Asia, karena harganya yang lebih murah dibanding produk asal Amerika dan Eropa, tetapi kualitasnya yang tidak jauh berbeda. Kondisi seperti inilah yang coba untuk direduksi oleh WTO dan kroni kroninya.
Kebijakan untuk meregistrasikan setiap barang perdagangan guna mendapatkan HKI memang adalah hal yang positif. Namun, jika ini dibenturkan pada kesiapan masing-masing negara di dunia yang tidak beragam, maka seperti biasa, Globalisasi hanya akan membawa kita pada suatu ketidakadilan.
Perlindungan terhadap Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) seperti ini juga sangat berdampak bagi masyarakat negara berkembang. Jika kita memperhatikan arah aturan ini, maka akhirnya kita akan terbentur pada statement bahwa HKI hanya akan menguntungkan negara negara maju dengan modal yang besar. Bagaimana tidak, jika teknologi maju hanya bisa dihasilkan dengan dana besar, maka hanya pihak yang punya modal kuatlah yang akan memonopoli ilmu pengetahuan. Dengan begitu negara berkembang yang notabene belum mapan secara ekonomi akan diarahkan kepada tahap konsumsi saja, dalam artian masyarakat negara berkembang hanya akan menikmati hasil dari teknologi tersebut tanpa adanya usaha untuk alih tekhnologi sehingga nantinya bisa dibuat sendiri. Dalam aturan ini, masyarakat negara berkembang memang “dipaksa” untuk menjadi pasar bagi produk-produk negara maju.

ditulis oleh: Awal Miftah Ridha & Nur Utaminingsih

Departemen Advokasi dan Kajian Strategis
Himahi FISIP Unhas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar