16 September 2010

Fair Trade, Perdagangan Alternatif

Buku karangan Bob S. Hadiwinata dan Aknold K. Pakpahan dengan judul fair trade merupakan buku yang sarat akan pengetahuan mengenai situasi dan kondisi ekonomi yang sedang melanda dunia. Free trade (perdagangan bebas) adalah sebuah sistem ekonomi sebagai hasil dari globalisai yang terus di perjuangkannegara-negara maju du belahan bumi Utara melalui GATT (general agreements on trade and tariffs) dan kemudian WTO (world trade organisation).
Sebagai rejim yang mengemban prinsip liberalisasi perdagangan, GATT/WTO berasumsi bahwa hanya melalui partisipasi di dalam perdagangan internasional, maka negara-negara miskin dapat ikut menikmati keuntungan. Liberalisasi perdagangan mutlak diperlukan, menurut GATT/WTO, karena tidak saja dapat memperlancar perdagangan antar bangsa tetapi juga bersifat saling menguntungkan sehingga dapat memberikan keuntungan maksimal kepada para pelakunya. (hal 12)
Namun hal tersebut sangat di ragukan. Para pengamat dari kubu Marxis tidak yakin bahwa peningkatan partisipasi negara-negara berkembang di dalam pasar internasional dapat meningkatkan kesejahteraan kaum marjinal. Peningkatan aktifitas industri di negara berkembang justru meningkatkaan proses eksploitasi terhadap kaum buruh di negara-negara tersebut.
Persoalan yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa ketika berpastisipasi di dalam perdagangan internasional negara miskin –akibat keterbatasan modal, teknologi, pengetahuan, dan sumberdaya manusia-seringkali “dipaksa“ untuk berspesialisasi pada produk primer dengan nilai tambah yang rendah seperti produk pertanian dan bahan tambang.(hal 14)
Di dalam buku fair trade di jelaskan pula mengenai sejarah awal terbentuknya GATT dan WTO sebagai organisasi yang mengendalikan perekonomian di dunia. Pada mulanya GATT dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan perlindungan industri di dalam negeri, pemberlakuan tarif yang di atur di dalam GATT. GATT pada prinsipnya merupakan forum perundingan yang dimaksudkan untuk meminimalisir hambatan-hambatan perdagangan (tarif maupun non-tarif) agar perdagangan dunia dapat menjadi ebih semarak. Dengan demikian dapat di mengerti jika tujuan untama GATT adalah untuk menciptakan kelancaran perdagangan antar bangsa dengan cara penurunan tarif impor secara gradual. Seiring dengan perkembangan zaman, GATT yang tadinya hanya melibatkan 23 negara industri, kian bertambah hingga mencapai 125 negara pada tahun 1994 termasuk ke dalamnya negara-negara maju. Negara-negara maju inilah yang mulai mendominasi di setiap pengambilan keputusan atau negosiasi dan negara-negara berkembang tidak dapat berbuat banyak. Situasi semacam ini menimbulkan ketidak harmonisan antara kelompok eksklusif negara-negara maju berhadapan dengan negara mayoritas anggota yang terdiri dari negara-negara sedang berkembang.
Permasalahan yang tidak bisa di pecahkan oleh GATT adalah masalah NTBs (non-tariff barries) di mana GATT hanya bisa menyerukan kepada para anggotanya untuk mengurangi bahkan menghilangkan sama sekali kebijakan-kebijakan NTBs-nya tanpa mampu memberikan sanksi yang jelas bagi mereka yang melanggar seruan tersebut. (hal 30).
GATT kemudian digantikan dengan WTO dengan maksud untuk menyempurnakan mekanisme pengaturan aktifitas perdagangan internasional yang menyangkut sekurang-kurangnya tiga aspek penting: 1. Peningkatan komitmen negara-negara anggota untuk mendukung beroperasinya sebuah rejim perdagangan internasional. 2. Peningkatan kapasitas administratif terutama dalam hal penyelesaian konflik perdagangan antar negara; dan 3. Pemberian wewenang yang lebih besar dalam proses negosiasi perdagangan di dalam berbagai forum ekonomi global.
Walaupun WTO baru berjalan beberapa tahun, beberapa pakar ekonomi internasional menyatakan ketidakyakinan mereka bahwa rejim ini mampu secara optimal memenuhi target yang gagal di capai oleh GATT. (hal 37)
Persoalan paling mendasar yang dihadapi oleh rejim perdagangan internasional seperti WTO adalah adanya penerapan standar ganda dan terdapat ketidaksesuaian antara kebijakan dengan tindakan dalam hal penerapan proteksi pelaku bisnis. Para pendukung perdagangan bebas sangat berkeyakinan bahwa semakin terbuka perekonomian sebuah negara, semakin besar kesempatan bagi negara tersebut untuk memperoleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengurangan angka kemiskinan dan peningkatan pendapatan perkapita. Sikap yang terlalu melebih-lebihkan keunggulan perdagangan bebas barangkali melupakan fakta mengenai esensi dari hubungan perdagangan antar negara, terutama apabila menyangkut 2 jenis komoditas yang berbeda dari segi nilai tambahnya. Bagi negara-negara yang berkonsentrasi pada sektor industri padat teknologi dan modal, keuntungan jelas dapat di peroleh secara maksimal karena produk tersebut biasanya memberi kesempatan kepada produsennya untuk menjadi “price setters” (penentu harga pasar) karena ketergantungan masyarakat terhadap produk tersebut. Sebaliknya, negara yang berkonsentrasi pada komodity primer keuntungan yang di peroleh sangat terbatas karena posisi mereka yang sebagai “price takers” bahkan seringkali harus menderita kerugian materi, tenaga maupun waktu karena sifat produk yang tidak tahan lama dan ketergantungan yang tinggi pada perantara. Dapat disimpulkan bahwa perdagangan bebas tidak memberikan keuntungan bersama, akan tetapi kita tidak mungkin serta merta menarik diri dari sistem ini sebab pada dasarnya tidak ada satu pun negara yang dapat hidup secara autarkis (sanggup memenuhi segala kebutuhan rakyat secara mandiri), maka kebijakan menutup diri akan mengakibatkan pelanggaran terhadap hal asasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup sesuai dengan kemampuannya. (hal 56)
Dengan demikian solusi yang di tawarkan dalam konteks ini adalah menawarkan sebuah konsep perdagangan alternatif yang memberikan ruang bagi prinsip perlindungan hak azasi manusia, kesetaraan, keadilan, keterbukaan, sustainabilitas, toleransi dan demokrasi. Fair Trade merupakan gagasan yang di kumandangkan oleh NGOs pada dekade tahun 1960. NGOs merupakan kelompok yang menentang dominasi kapitalisme global. OXFAM-Great Britain, sebuah NGO yang bermarkas di Oxford Inggris, merupakan salah satu pionir dari gagasan fair trade (perdagangan yang adil) sebagai alternatif dari free trade (perdagangan bebas) yang terus menerus di kampanyekan oleh negara-negara liberal. Walaupun sangat kecil dibandingkan dengan jalur perdagangan konvensional, jalur perdagangan kemanusiaan ini cukup memberikan harapan bahwa terlepas dari dominasi kapitalisme global yang berkembang melalui perdagangan lain yang membebaskan para pemodal kecil dari trade exploitation (penindasan perdagangan). Kecilnya volume perdagangan melalui jalur fair trade (jika di bandingkan dengan perdagangan konvensional barangkali berkaitan dengan terbatasnya lingkup aktifitas gerakan fair trade yang hanya membatasi pada pembelian komoditi primer, kerajinan dan terget dari kegiatan tersebut hanya pada kelompok petani/nelayan/pengrajin atau koperasi saja. Di samping itu, aspek yang ditangani hanya menyangkut upaya untuk mengurangi trade exploitation.
Buku ini juga berupaya untuk membuat semacam penealaahan ringkas mengenai kampanye fair trade yang dilakukan Oxfam Great Britain. Sasaran yang ingin di capai adalah untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan yang di hadapi oleh organisasi tersebut yang selama kurang lebih 40 tahun menjalankan aktifitas fair trade. Buku ini membahas secara lengkap sejarah, bentuk bahkan aplikasi-aplikasi dari fair trade yang telah terlaksana.
Buku ini menyajikan sejumlah contoh-contoh bentuk perdagangan fair trade akan tetapi sebagian besar masih dalam konteks lokal belum ke dalam skala internasional. Fair trade adalah sistem yang di tujukan untuk masyarakat dunia, bahwa keadilan dalam berdagang dapat di capai dengan cara merubah sistem yang ada, dan dapat pula di lakukan dengan menekankan aspek hukum untuk menertibkan sistem perekonomian yang ada, jika contoh-contoh fair trade sebatas di berikan dalam tatanan lingkungan lokal maka tentu hal tersebut tidak menampakkan kelebihan yang signikan akan sistem ini. Fair trade adalah sistem perekonomian yang sarat akan pesan moral dan tujuan yang mulia untuk memasukkan berbagai prinsip kemanusiaan yang telah dirumuskan dan disepakati dalam berbagai konvensi internasional, ke dalam aktifitas perdagangan pada lingkup lokal, nasional, regional maupun internasional.