26 Juli 2011

Sebelum Diskusi Mati di Tamannya Sendiri

Oleh: Hasrul Eka Putra

Penulis adalah Mahasiswa HIMAHI FISIP UNHAS

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah

Usirlah mereka dengan revolusi

Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi

Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi

Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan!

(Negeri Para Bedebah-- Adhie M Massardi)

Kecemasan soal sepinya atmosfir diskusi di taman intelektual kian mengemuka. Di beberapa edisi media ini, fenomena krisis budaya diskusi selalu diangkat—bahkan menjadi headline (Identitas, Akhir Maret 2011). Fakta-fakta kasat mata semakin menguatkan ironi: saat gairah diskusi merosot tajam, gairah inagurasi dan futsal-isme begitu digandrungi. Apa yang sebenarnya terjadi?

Diskusi di Zaman Sertifikat

Di zaman ketika positivisme-materialisme menjelma menjadi berhala-berhala baru, aktivitas apapun yang tidak menghasilkan keuntungan-keuntungan material menjadi tidak menarik. Tidak dibutuhkan. Mirisnya, aktivitas seperti diskusi pun turut terjebak dalam kerangkeng logika ini. Diskusi bagi sebagian orang akan sangat menarik jika diskusi (dalam bentuk apapun itu) tidak hanya memberikan sajian ilmu: harus pula menyajikan secarik sertifikat. Sekarang, diskusi tanpa sertifikat adalah diskusi yang tidak produktif. Bobot dan topik diskusi menjadi nomor dua. Nomor satu adalah sertifikatnya.

Di wilayah akademik, Student Center Learning (SCL) yang digembar-gemborkan sebagai metode baru yang bisa merasangkan keaktifan dan daya intelektual mahasiswa ternyata layu sebelum berkembang. Keterbatasan sarana, tenaga pengajar dan kemampuan dasar SCL yang sudah dianggap biasa malah menghasilkan proses mengajar yang setengah-setengah (Identitas, November 2008). Metode diskusi dan presentase pun menjadi pilihan utama proses belajar-mengajar model ini. Budaya diskusi dalam kelas mulai tumbuh. Hanya saja budaya dan gairah ini dilakukan lebih atas tekanan perkuliahan dan motivasi “nilai”. Banyak bertanya sama dengan bagus nilai-nya. Bagus nilai berarti tinggi IP. Tinggi IP dan bagus nilai, cepat selesai! Logika seperti ini yang juga terus ditanam di kepala mahasiswa sejak Penerimaan Mahasiswa Baru. Logika yang turut memberi sumbangsih besar atas semakin tergerusnya budaya diskusi.

Hal ini kemudian diperparah oleh lembaga kemahasiswaan yang juga turut terjerembab ke dalam lumpur pemahaman positivistik. Ada kecenderungan dalam tubuh lembaga kemahasiswaan yang memandang bahwa diskusi hanya sebagai bagian dari program kerja lembaga yang harus direalisasikan. Parameter keberhasilannya pun hanya diukur dari terlaksana atau tidak terlaksananya kegiatan. Persoalan kualitas wacana dan kuantitas partisipan tidak menjadi masalah utama. Lihatlah kegiatan diskusi kampus belakangan ini: diskusi-diskusi “canggih” yang berbentuk seminar, simposium, kuliah tamu, dan sebagainya cukup gencar digelar oleh lembaga kemahasiswaan. Namun, diskusi “rakyat” semacam diskusi koridor/pelataran kian minim ditemui. Diskusi-diskusi “rakyat” cuma melimpah saat bulan-bulan pertama kedatangan mahasiswa baru. Selepas masa perkaderan, kembali ke keadaan krisis diskusi. Kalaupun ada, peminatnya pun minim.

Melihat minimnya atensi dan animo mahasiswa terhadap budaya diskusi, bukannya mencari inovasi atau kreasi metodologi diskusi, lembaga mahasiswa malah berbelok arah. Memilih program kerja dan aktivitas yang digandrungi oleh orang kebanyakan. Maka semaraklah pertunjukan-pertunjukan euforik ala SMA dan sindrome futsal-isme. Kampus yang lebih diharapkan sebagai “juru selamat” masalah-masalah masyarakat malah disibukan dengan aktivitas-aktivitas yang semakin menjauhkannya dengan masyarakat.

Paradoks

Ada juga paradoks soal budaya diskusi: ketika diskusi di kampus sepi, diskusi di “kampus maya” kian ramai. Budaya diskusi face to face yang terpuruk sepertinya berbanding terbalik dengan fenomena meledaknya jejaring sosial berserta seperangkat fasilitasnya yang membuat manusia kian nyaman dengan kesendiriannya. Grup, threat, topik dan kawan-kawannya semakin berjubel di dunia maya. Dengan berbagai macam nama, komunitas hingga gerakan-gerakan sosial tumbuh subur di jejaring sosial. Fenomena ini sah-sah saja sepanjang dilakukan secara proporsional dan tepat sasaran. Namun, ketika fenomena ini juga turut membuat manusia kian malas melakukan aktivitas-aktivitas fisikiah, maka itu menjadi masalah. Di kampus, fasilitas wifi gratis sudah tersedia dimana-mana. Dari ruang kelas, ruang tunggu, hingga di sekretariat lembaga-lembaga kemahasiswaan orang bisa dengan mudah “masuk” dan terjun dalam dunia artifisialnya yang baru. Atas nama kenyamanan dan ketersediaan fasilitas di kampus ini, penguat-penguat signal dijejali di semua langit-langit fakultas. Signal akan semakin kencang. Berselancar akan semakin nyaman. Dan pastinya diskusi di dunia nyata akan semakin terlihat membosankan. Padahal dunia nyata yang sedang kita tinggali membutuhkan lebih dari sekedar “perubahan maya”.

Lebih lanjut, sepinya budaya diskusi ini bisa mereprentasikan kelesuan pergerakan dan semangat perubahan mahasiswa. Pergerakan yang terus terjebak pada masalah-masalah lama (yang bersifat momentum, arogansi warna, hingga gerakan yang ditunggangi) membuat mahasiswa merasa jenuh dan nyaris putus asa dengan idealismenya sendiri. Di tengah negeri yang semakin dipenuhi para bedebah dan cukong-cukong idealisme, kampus malah memenjarakan mahasiswa yang masih punya mimpi-mimpi besar soal perubahan. Dikotomi aktivis dan akademis terus digaungkan oleh birokrat. Seolah-olah jika kita menjadi penggiat wacana, pemburu diskusi, dan pecinta gerakan maka kita harus siap-siap ber-IPK rendah dan paling akhir selesai studi. Tugas utama kita hanyalah belajar, cepat selesai, dapat pekerjaan bagus, berkeluarga, punya kehidupan yang sukses, lalu mati. Alangkah lucu dikotomi dan stigma seperti ini. Sebab, bukankah seorang akademisi lah yang seharusnya berada di front terdepan dalam hal perubahan? Dialah yang lebih tahu. Dialah yang paham. Dan seharusnya, dialah yang lebih gelisah dan lebih aktif menggalang perubahan!

Akhirnya, budaya diskusi semakin terpojok di taman yang seharusnya menjadi ladang subur bagi dirinya. Budaya diskusi bukan hanya masalah sharing knowledge. Lebih dari pada itu, dia adalah pelecut bagi sebuah perubahan. Diskusi adalah sebuah karya peradaban yang sudah terbukti paling produktif dan solutif. Budaya diskusi seharusnya tidak kalah dengan budaya debat dan budaya-budaya tidak sehat yang kini juga mulai menjangkiti masyarakat kita. Sudah saatnya kita merasa terpanggil dengan kemirisan ini! atau, kita mungkin sudah begitu nyaman menjadi alien-alien yang bernama mahasiswa?