11 November 2009

Paradigma HI ; Marxisme

by line : Muhammad Asy'ary Mukrim

Marxisme dimulai dari seorang ekonom dan filsuf ekonomi politik jerman abad ke-20. Teori Marxis dapat dilihat dari dua kacamata: pertama Marxisme sebagai fenomena dan Marxisme sebagai suatu disiplin ilmu. Sebagai suatu disiplin ilmu, Teori Marxis dan teori Neo-Marxis dalam HI menolak pandangan realis/liberal tentang konflik atau kerja sama negara yang bila kedua negara atau beberapa negara melakukan kerjasama, maka kedua negara tersebut akan saling unutung (istilah kaum liberalis: Positive Sum Game), tetapi sebaliknya berfokus pada aspek ekonomi dan materi. Marxisme membuat asumsi bahwa ekonomi lebih penting daripada persoalan-persoalan yang lain; sehingga memungkinkan bagi peningkatan kelas sebagai fokus studi. Para pendukung Marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi (Zero Sum Game) yang mengejar akumulasi modal (kapital). Inilah yang disebut globalisasi yang ditandai dengan adanya pasar bebas, yang membuat modal begitu mudah kelar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar bebas akan membuat satu negara terisolasi dari pergaulan internasional. Globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan manusia sedunia: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Globalisasi sejatinya adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme. Jadi, ia adalah anak kandung kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya beroperasi dalam suatu negara kemudian merambah ke dunia lain, demi memasarkan produknya dan mencari keuntungan demi mengakumulasi modal. Bila di masa kolonial kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar, di masa pascakolonial, kapitalisme beroperasi dengan membonceng kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Hal ini menjadi kritik dari kaum marxis terhadap kaum Liberalis.
Periode kolonialisme membawa masuk pelbagai sumber daya untuk bahan-bahan mentah dan pasar-pasar yang pasti (captive markets) untuk ekspor, sementara dekolonisasi membawa masuk pelbagai kesempatan baru dalam bentuk dependensi (ketergantungan). Berkaitan dengan teori-teori Marx adalah teori dependensi yang berargumen bahwa negara-negara maju, dalam usaha mereka untuk mencapai kekuasaan, menembus negara-negara berkembang lewat penasihat politik, misionaris, pakar, dan perusahaan multinasional untuk mengintegrasikan negara-negara berkembang tersebut ke dalam sistem kapitalis terintegrasi untuk mendapatkan sumber-sumber daya alam dan meningkatkan dependensi negara-negara berkembang terhadap negara-negara maju.
Marxime melihat perekonomian sebagai tempat eksploitasi manusia dan perbedaan antar kelas sosial, khususnya kaum borjuis dan kaum proletar. Pandngan kaum marxis tersebut disebut matrerialisme. Hal ini di dasarkan pada pernyataan bahwa aktifitas inti dalam masyarakat manapun hirau dengan cara-cara bagaimana manusia menghasilkan alat-alat eksistensinya. Produksi ekonomi adalah dasar bagi semua aktivitas manusia lainnya, termasuk politik. Dasar ekonomi terdiri dari, disatu sisi, kekuatan-kekuatan produksi, yaitu tingkatan teknis aktivitas ekonomi. Di sisi lain, terdiri dari hubugan produksi, yaitu system kepemilikan sosial yang menentukan kendali sebenarnya kekuatan produksi (contoh: kepemilikan swasta dan koloektif). Bila digabungkan, kekuatan produksi dan hubungan produksi mebentuk suatu model produksi tertentu, sebagai contoh kapitalisme, yang didasarkan pada mesin industry dan kepemilikan swasta. Kaumm borjuis mendominasi perekonomian kapitalis melalui kendali alat produksi juga akan cenderung mendominasi dalam bidang politik.
Hal ini membawa kita pada kerangka kerja kaum Marxis bagi studi EPI. Pertama Negara tidak otonom, mereka digerakkan oleh kepentingan kekas yang berkuasa, dan Negara kapitalis teutama digerakkan oleh kepentingan kaum borjuisnya. Bagi kaum Marxis, hal ini berarti konflik kelas lebih mendasar disbanding konflik antarnegara. Kedua, sebagai suatu system ekonomi kapitalisme bersifat ekspansi. Selalu mencari pasar baru dan lebih menguntungkan. Sekarang ekspansi tersebut mengambil bentuk globalisasi ekonomi yang dipimmpin oleh perusahaan trans-nasional raksasa. Teori EPI saat ini berdasarkan pada kerangaka Marxisme, adalah berdasarkan pada kerangka analisis Imanuel Wallerstein. Oelh Stein memberikan banyak .tekanan pada perekonomian dunia dan cenderung mengabaikan politik internasional. EPI Marxis selanjutnya hirau pada sejarah tentang perluasan kapitalis global, perjuangan antar kelas, dan Negara yang telah memberikan kebangkitan di seluruh dunia, dan bagaimana transformasi yang revolusioner dari dunia tersebut mungkin akan muncul
Teori-teori Marxis kurang mendapatkan perhatian di Amerika Serikat di mana tidak ada partai sosialis yang signifikan. Teori-teori ini lebih lazim di pelbagai bagian Eropa dan merupakan salah satu kontribusi teoritis yang paling penting bagi dunia akademis Amerika Latin, sebagai contoh lewat teologi.


resume Diskusi Rutin
tema : "Marxisme"
-Advokastra Himahi FISIP Unhas-

ILMU PENGETAHUAN DITENGAH SELUBUNG KEKUASAAN; ILMUAN BUKAN PAHLAWAN BERTOPENG

By line: Allan Nur
Membongkar Netralitas Ilmu Pengetahuan


Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengantar manusia pada kondisi dimana semua akses nyaris dengan mudah dijangkau. Saat ini dunia dirasa kian menyusut. Namun pergerakan nalar intelektual terus berinovasi menciptakan penemuan perangkat teknologi muktahir sejalan dengan kebutuhan manusia modern. Jauh sebelum itu, kemampuan daya cipta manusia hanya sebatas menerjemahkan anasir-anasir semesta. Alam adalah titik sentrum dan manusia berada dibawah kendali alam. Saat itulah babakan sejarah manusia mulai berevolusi hingga saat ini. Ketika manusia telah menghilangkan semua tapal batas penghalang segala eksperasi dan kreativitas otak. Penada-penada zamanpun satu-persatu diidentifikasi sebagai penghubung antar waktu. Hingga akhirnya manusia menjadi konektor antar waktu yang berjarak itu. Inilah yang disebut era baru dimana manusia adalah actor (Agen )pembaharu yang “mulai” terjerabut dari akar peradabannya.
Inilah era globalisasi. Era dimana dunia dikuasai segelintir orang dan memiskinan jutaan orang. Globalisasi adalah istilah yang sempat mewacana pada pemerintah orde baru. Melalui institusi pendidikan yang tak lain adalah Agent Apparatus Ideology telah merasuki pikiran dan mengklaim globalisasi sebagai gerbang menuju “kemajuan” dari segala aspek. Pengertian dan pemahaman sempit ini telah menjadi doktrin hingga masih bayak yang salah kaprah dan terjebak pada politik bahasa yang sengaja dihembuskan dan secara sadar telah menghegemonik.
Mengapa globalisasi diidentik dengan pasar bebas bisa dipahami sebagai kemajuan dari aspek teknologi? Bahkan negara jadi aktor dalam melegitimasi istilah itu. Termasuk system pendidikan mensetting arah dan tujuan pedagogic menjadi penopangnya. Padahal secara manifest (nyata) globalisasi tidak dapat dilepas-pisahkan dari perkembangan kapitalisme dalam segala wajudnya. Atau dalam istilah lain globalisasi adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme.
Ketika tembok feodalisme dan kebudyaan lama mulai lenyap, ilmu pengetahun tampil sebagai pahlawan. Berkat kempuan penalaran (rasional) yang menjungkir balik kemampuan manuasi dalam memprediksi akibat-akibat diluar daya guna nalar dianggap tak layak pakai. Umat manuasipun meyakini abad pencerahan, dimana ilmu pengetahuan menjadi primadona untuk mengugkap segala persoalan yang dikandungnya. Realitas dan fakta social menjadi rebutan dan bahkan tak jarang kerap kali dieksploitasi demi sebuah mimpi besar yang disebut “Kemajuan”. Mimpi ini harus ditafsir dengan menaggalkan mitos besar pengetahun yakni netralitas dan bebes nilai. Bukan tanpa alasan mitos besar ini merupakan protagonist dari cara berpikir masyarakat modern yang tak lain adalah sebuah revolusi berpikr intelektual borjuasi.
Terkait dengan hal ini Kritik terbesar yang dikemukakan oleh jebolan generasi pertama Frankfut Scholl Theodore Adorno bahwa ilmu penegthuan ilmia memilikiki cacat bawaan. Dimana ilmu pengetahuan (saintifik) menjadi mesin dan alat control kekuasaan. Bukan lagi sesuatu yang laten (tersembunyi) bahwa penegetahuan pun telah dikanalisasi pada suatu ideologi domininan. Yaitu kapitalisme. Munculnya perang dunia pertama maupun PD Ke-2 adalah bukti dari ilmu pengetahuan beserta intelektual yang menghasilkan teknologi perang memiliki wajah ganda. Perangpun jadi solusi penyelesain konflik berunjung pada penguasaan bahkan penjarahan kekeyaan sumber daya alam. Pada posisi ini peran intelektual beserta penemuanya jadi alat legitimasi pemerintah menjalankan agenda dominasinya termasuk system ekonomi neoliberal. Contoh kongkritnya ketika ekonomi politik neolibralisme dicetuskan pada decade 1950-an di inggris dan USA terdapat dua institute studi kebijkan ekonomi yang sengaja dibangun untuk menopang dan mendukung secara teoritis dan koseptual tetang tatanan ekonomi duania yang berwatak neolibraliseme.
Pasca perang dunia II di Inggris berdiri dua lembaga akademik yang menopang kerangka koseptual kebijkan neolib,: The Institut of Economic Affairs (IEFA) dan Center for policy studies (CPS). Di USA Fakultas ilmu ekonomi Universitas California atau kebih popular disebut Brakley school. Rezim orba saat berkuasa pernah mendidik kalangan ekonom liberal Indonesia di universitas California seperti Emil salim, Dorojatun koncorojakti, Sri mulyani, hingga Budiono. Maka jangan heran cap ekonom pro neoliberal disandingkan pada kawanan alumnus Brekley ini. Di institus pendidikan ini kebijakan ekonomi global dirancang berbasis pasar bebas. Semua pemebenaran secara ilmia telah disetting dan diarahkan pada system ekonomi yang samapi saat ini telah menggurita dan meninggalkan sang jawara negara maju seperti USA dan beberpa Negara di kawasan Eropa sebagai pemenang. Contoh ini sekaligus menjadi bukti bahawa kekuasaan mampu menaklukan ilmu pengetahuan serta mampu mengkostruksi institusi pendidikan sesuai kepentingan rezim yang berkuasa.
Pendapat Michel foucault bisa menjadi rujukan. Menurutnya didalam seperangkat pengetahuan mengadung mifestasi kekuasaan. Kekuasan tidak harus terbentuk dalam kerja mekanis atau linier melainkan diproduksi secara interaksional dalam wacana masyarakat. Ketika wacana atau p[enegtahuan tersebut diyakini maka disanalah kekuasaan bekerja. Tidak salah kalau wacana ideology sangat efektif jika ditransmisikan oelh seperangkat pengetahuan yang membentuk perangkat disiplin masyarakat. Pengetahuan ini dibentuk dan dan dikonstruksi oleh Negara terutama lemabaga pendidikan.
Membaca ulang Teror dibalik media: Penghianatan inteketual borjuasi imut-imut
Hembusan wacana yang berjalan rapi dalam rel ideology kelas berkuasa selalu menyisahkan tumbal dan meninggalkan sosok hero yang mengatasnamakan perdamain, keadilan dan HAM. Salah satu contoh adalah terorisme. Betapa terorisme dijadiakn sebagai mesin propaganda nengara maju yang merasa terancam dan terus dihantui. Dan media, beserta intelektual di dalmnya telah mengambil bagian menjalankan aktivitas propangad tersebut. Dalam pandangan Noam Chomsky terorisme telah menjadi alat semantic kekuasaan Negara-negara barat. Artinya terorisme telah diselubungi tendensi dan kepentingan. Nampak dipermukaan, ketakutan, kewaspadaan, dan ancaman adalah ekspresi yang terekam tajam oleh pembidik kamera. Namun dibalik layar, kita jangan tertipu! peristiwa itu bukan realitas asli tetapi sebuah imajinasi yang direkayasa dan ditopang oleh kemampuan media massa.
Sebutlah USA dengan gencar memberi stigma Negara-negar islam dan negra di Ameriak latin dicap teroris. Citra Islam pun dikonstruksi menjadi sebuah kelompok atau kawanan eksrtim identik dengan kekerasan. Stikmatisasi atau pelabelan ini sengaja dihembuskan untuk menjaga kekuasaan rezim Bush untuk mencitrakan USA sebagai Negara adidaya. Dan media massa Amarika berhasil menjadi mesin propaganda yang manupulatif. Di USA perang melwan terorisme jadi slogan kampanye rezim Bush
Melawan terorisme bukanlah dengan jalan menciptakan teror kembali terhadap rakyat, tetapi dengan menciptakan tatanan dunia yang lebih adil, manusiawi dan bermartabat dengan menjamin hak demokratis dari warga negara. Melenyapkan terorisme dengan cara-cara terorisme justru tidak akan melenyapkan terorisme itu sendiri, tetapi memunculkan kekuatan-kekuatan teror yang lebih luas dan lebih radikal, karena menemukan pembenarannya yaitu tata ekonomi global yang tidak berkeadilan.
Sudah semestinya diskursus terorisme harusnya ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Artinya, perlu ada pemahaman yang lebih luas dalam menyikapi fenomena teorisme, sudah saat nya terorisme tidak ditafsikan secara sempit, penuh kekhwatiran, ketakutan dan saling curiga bahkan tak jarang saling menuduh. Negra sebagai institusi dan pemerintah sebagai agen terbukti gagal. Perlu pembacaan ulang ttng peran dan tanggung jawab Negara. Sudah maksimalkah Negara (pemerintah) memberi makan seluruh lapisan masyarakat Indonesia?,Sudah meratkah keadilan dan kesejateraaan bagi rakyat Indonesia?Masih adakah warga Negara republik ini yang penghasilanya hanya 20 ribu dalam hitungan 24 jam? Dan pantaskah kita berbangga diri disaat banyak saudara kita harus kehilangan temapat tinggal tergusur dengan alasan tatakota dan pembagunan kawasan pemukiman elite. Dari rentetan fakta social ini, tidak satupun terpenuhi dan berhasil diatasi oleh pemerintah saat ini. Dan faktafakta inilah yang sesungghnya terror !!!
Studi media telah mengambil posisi penting dalam peta pengetahuan. Bahkan sampai detik ini pun media tetap diyakini sebagai alat transmisi pesan bahkan tak jarang media tampil sebagai agent pertukaran makna dan simbol. Disaat itu juga media menjadi perangkat stigmatisasi dan tak jarang menuding dibalik fakta. Bukan tidak mungkin sumbangsi ilmu penegtahuan ini memberi andil dalam pertarunngan kepentingan ideology dominan. Hubungannya dapat ditelusuri dari beberapa pakar media yang diyakini oleh sebagian pihak sebagai peletak pertama kajian komunikasi.
Di USA studi media dikembangkan. Namun bukan berarti di negeri Pam sam mulanya kajian media itu dipelajari. Sebelumnya telah kaji di daratan Eropa terutma dari kawanan intektual progresif Frankfrut school. Akan tetapi Di Amarika kajian ini lebih banyak berkembang sesuai kepentingan penguasa waktu itu. Adapun kajian yang paling penting saat itu adalah anlisis opini publik dan efek media. Dari sinilah sosok Harold laswell mengakaji hubungan media dan mengaitkanya dengan sosiologi politik. Hal ini erat kaitannya denga kondisi politik USA yang dihantui oleh politik anti semith dan fasisme Hitler. Pada saat itu kajian ini jadi penentu dalam menganalisa dampak propaganda Hitler. Maka kajian-kajian seperti persuasi, efek propaganda, efek media mulai ramai digeluti di USA. Samapi saat ini teori propaganda media adalah instrument penting yang masih dipraktekan untuk mencitrakan USA sebagai Negara super power.
Salah satu contoh, ketika sekuel film Rambo diliris, ini bukan sekedar film biasa Hooliwood. Rambo adalah salah satu film (media) yang berhasil menggiring opini public bahwa USA adalah pemenang perang Vietnam. Padahal sesunggunhnya mereka kalah dan meyisahkan banyak korban saat berhadapan dengan gerilyawan merah (Vetkong). Tapi perlu diingat, USA memang kalah dalam pertempuran fisik namun mereka menang mutlak dari sisi opini dan wacana. Mereka terlanjur dikenal dunia sebagai jawara perang yang me-atasnamakan perdamai. Disanahlah ilmuan-ilmuan dan pakar komunikasi telah “melacuri” kapasitas pengetahuanya.
Tulisan ini ingin mengatakan bahwa dimana-mana kekuasaaan pasti memerlukan inteletual. Salah satu fungsinya adalah memberi “wejangan” terhadap keputusan politik. Kita masih ingat kenaikan BBM, beberapa ilmuan, Buayawan, Seniman bahkan Agamawan menjadi “provokator” melegalkan dan merestui kenaikan BBM. Nama-nama dan gelar akedemik mereka dipajang sebagai pembenar atas keputusan pemerintah. Sungguh sangat menjijikan! Bahkan saat ini mulai tren ilmuan politik dan komunikasi tampil pada kancah riset opini. Seperti yang terjadi pada pemilihan legislative dan pemilihan President belum lama ini. Riset opini menjadi jualan bagi kontestan politik. Bagaimana menilai kelayakan seorang politisi maka riset yang akan menetukan. Bagaimana figure diterima pemilih, maka riset yang mengoprasikanya. Opini digiring melalui penjelasan riset yang katanya sistematis tapi nytanya justru menjadi “komprador” merayakan kemenagan dengan mesin citra yang manipulative. Dan ini mendapat posisi legal yang selanjutnya disebut “Spindoctor” nama lain dari makelar politik.
Sekarang mari kita bandingkan, kondisi terakhir di Porong Sidoarjo. Sumburan lumpur Lapindo, apa hasil riset mampu menjawab dan menyelamatkan warga porong dengan lumpur yang tak kunjung berakhir? Mana kontribusi Ilmuan Indonesia mengatasi maslah ini?Justru yang ada warga Porong kian terpuruk. Disaat bersamaan Polisi menghentikan penyelidikan kasus ini dengan fokos kerja memburu gembong terorisme Noordin M Top yang sebenarnya adalah tokoh fiktif. Fakta bahwa PT Lapindo Brantas telah melakukan Praktek kejahtan lingkungan di Porong tak terbukti. Media masa ramai-ramai merayakan lumpur lapindo adalah musibah nasional. Disinilah media menjadi saluran terpenting yang selalu beririsan dengan kekuasaan. Melalui politik bahasa satuper-satu kata-kata diperhalus. Seperi kemiskinan dinamakan pra sejahtera, kelaparan disebut gizi buruk dan penggusuran dibilang penertiban.
Kondisi dimana ilmu pengethuan bersintesis dengan kekuasaan terlihat pada sikap otoritarian rezim Bush menuding Irak dan Iran dua negara yang menyimpan senjata pemusnah massa hasil pengayaan uranium. Ekspansi militer dan perang adalah klimaks dari tudingan ini. Irak pun diambil alih disaat bersamaan minyak Irak jatuh digengaman USA. Selanjutnya muncul pertanyaan, siapa yang meriset dan beranggapan bawahwa Irak memilki senjata maut itu?
Disinilah ilmu pengetahuan menjadi paradox. Ilmu pengetahuan yang dianggap mampu dan membantu umat manusia ternyata menjadi alat control dalam melanggengkan berbagai ideologi termasuk kapitalisme. Teriakan lantang terhadap klaimitas bahwa ilmu penegtahuan berwatak netral, tidak berpihak, toleran, dan tidak mempunyai prasangka kepentingan hanyalah mitos semata serta memiliki cacat bawaan. Klaim kebenaran yang menjadi cita-cita pengetahuan ternyata membawa duka baru. Dalam watak terendahnya ilmu penegetahuan justru menjadi sarana penindasan. Ancaman seriusnya bukan hanya sekedar gagal memenuhi janji-janji perubahan namun justru kegagalan ini telah membuka tabir baru dalam proyek besar ekspolotasi umat manusia dan alam.
Inilah yang disebut era globalisasi yang ditandai dengan adanya pasar bebas, yang membuat modal begitu mudah kelar atau masuk dalam suatu negara. Menghindari pasar bebas akan membuat satu negara terisolasi dari pergaulan internasional. Globalisasi menuntut pengintegrasian seluruh aspek kehidupan manusia sedunia: ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Globalisasi tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kapitalisme. Globalisasi sejatinya adalah anak yang lahir dari rahim kapitalisme. Jadi, ia adalah anak kandung kapitalisme. Kapitalisme yang awalnya hanya beroperasi dalam suatu negara kemudian merambah ke dunia lain, demi memasarkan produknya dan mencari keuntungan demi mengakumulasi modal. Bila di masa kolonial kapitalisme melakukan koloni untuk mencari bahan mentah dan perluasan pasar, di masa pascakolonial, kapitalisme beroperasi dengan membonceng kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.
Agar petaka ini menemukan titik tepinya maka Ilmuan, Seniman, Budayawan, Agamawan dan Mahasiswa progresif harus berada pada tapal batas arus besar pengetahuan. Mereka adalah generasi yang terlahirkan dan terdidik dari kesadaran kelas. Mansor Fakih menyebutnya sebagai kawanan intelektual organic. Ilmuan yang tidak bersikap netral dan tidak menjadi penghamba pada kekuasaan serta menancapkan jubah intelektualnya pada kondisi yang memiskinkan tanpa harus menjadi supermen.


resume Diskusi Kontemporer
"Membongkar Netralitas Ilmu Pengetahuan"
-Advokastra Himahi FISIP Unhas-

NAMRU-2 SENJATA BIOLOGI SESAT BERKEDOK KESEHATAN AMERIKA UNTUK INDONESIA

By Line: Adi Wijaya

NAMRU-2 Harga Mati untuk Amerika

Naval Medical Research Unit-2 yang dikenal dengan istilah NAMRU-2 , merupakan senjata biologi sesat yang dibuat oleh amerika khusus untuk negara-negara berkembang, terutama basis Islam terbesar di dunia, Indonesia. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk memporak-porandakan sistem pemerintahan di Indonesia.

Amnesia sejarah secara massal adalah penyakit akut yang telah menjangkiti bangsa Indonesia. Begitu mudah warga masyarakat di negeri ini melupakan peristiwa penting, bahkan peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi. Amnesia pula yang terjadi dalam isu Naval Medical Research Unit-2 (NAMRU-2). Setelah sebulan menjadi headline hampir semua media massa, kini sepak terjang lembaga intelijen berkedok laboratorium milik Angkatan Laut Amerika Serikat seolah terlupakan. Padahal langkah amerika serikat mempertahankan laboratorium penyakit Tropis terlengkap di dunia yang telah 40 tahun beroperasi di Indonesia itu, terus berlangsung.

Menurut Juru Bicara Depatemen Luar Negeri Kristanto Legowo, Deplu telah menerima draf Memorandum of Understanding (MoU) NAMRU-2 dari pemerintah Amerika Serikat satu atau dua Minggu lalu. Saat ini pemerintah sedang membahas draf itu secara mendalam. “Kami akan lihat dan membahas darf yang diajukan untuk memastikan tidak atau adanya hal yang merugikan kepentingan nasional” ujar Juru Bicara Deplu. Tapi menurutnya, vokal pointnya ada di Departemen Kesehatan. Anehnya, usai kunjungan dari Jenewa, pekan lalu, menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari malah mengaku tidak tahu soal perkembangan terakhir ini. “Sekarang bola di tangan Amerika, mereka belum membahas daraf MoU yang kita kirim” ujarnya. Menurut dia, Depkes akan tetap menghentikan kegiatan operasional laboratorium milik Angkatan Laut AS itu di Indonesia.

Tentu saja hal ini sangat mengherankan. Sebab, jika benar Depkes adalah vokal point pembebasan draf baru, seharusnya Menteri Kesehatanlah yang perlu segera diajak bicara oelh Deplu untuk membahas draf MoU AS. Diduga sikap keras Menteri Kesehatan menyebabkan pembahasan MoU tentang kelanjutan operasi NAMRU-2 ini belum juga dilaksanakan.

Satu dari Tiga Deal Utama Pengaruh AS di Indonesia

Alotnya pembahasan NAMRU-2 dimaklumi Menteri Kesehatan. Sebab MoU NAMRU-2 adalah satu dari tiga dela utama yang menandai pengaruh AS di Indonesia. MoU pertama adalah Masuknya Indonesia ke Internastional Menetary Fund (IMF) dan World Bank yang intinya AS jadi tim asistensi ekonomi, deal kedua adalah penyerahan pengelolaan tambang ke sejumlah perusahaan AS. “Makanya AS ngotot mempertahankan NAMRU-2” kata Siti Fadillah.

NAMRU-2 beroperasi di Indonesia sejak 1968 ketika Menteri Kesehatan GA Siwabessy, meminta bantuan dokter Angkatan Laut AS menanggulang wabah Pes di Boyolali, Jawa Tengah. Bantuan ditingkatkan menjadi kerja sama permanen berdasarkan MoU yang diteken Duta Besar AS untuk Indonesia, Francis Joseph Galbraith dan Swabessy pada 16 Januari 1970. Semula NAMRU-2 bersatatus detachment dipimpin oleh seorang kapten. Sejak tahun 1991 indonesia menjadi pangkalan utama NAMRU-2, ketika Command NAMRU-2 dipindah di Jakarta dan dikepalai oleh seorang kolonel. NMAR-2 beroperasi karena Indonesia adalah Negara kepulauan yang sangat menarik untuk diteliti” kata Direktur NAMRU-2 Trevor Jones. Tahun 1986 NAMRU-2 mendirikan laboratorium di Jayapura bersama Depkes, dan RSU Jayapura. Anehnya, dalam penelitian Malaria itu, mereka tak hanya mengambil sampel darah warga. Mereka juga memetakan situasi, topografi, dan penyebaran penyakit dengan cara tak lazim. “mereka mengumpulkan data pos militer, jarak lokasi penyebaran penyakit dengan kantor pemerintahan, dan memetakan lokasi dengan detail”, kata seorang peneliti Balitbangkes. Tahun 1997 NAMRU-2 ditetapkan sebagai WHO Collaborating Center untuk Emerging Infectious Disease Asia Tenggara. Dengan dalih meneliti Malaria, Demam berdara, HIV/AIDS, dan Flu Burung mereka mengirim surak ke seluruh Rumah Sakit Umum, daerah maupun swasta, dan puskesmas untuk mengirimkan sampel darah pasien. Tapi, ketika pemerintah sibuk mengahdapi bencana nasional Demam Berdarah dan Flu Burung mereka diam saja.

Menteri Keras, Istana malah Lunak

Masalah NAMRU-2 marak ketika beredar surat penghentian sementara operasi NAMRU-2 di Indonesia. Surat untuk Direktur NAMRU-2 itu ditandatangani kepala Balitbangkes Depkes, Dr. Triono Soendoro, 31 Maret 2008 lalu, atas perintah Menteri kesehatan. Laboratorium yang telah bercokol 4 dasawarsa itu diminta menghentikan operasi sampai MoU baru diteken.

Triono juga merilis surat edaran untuk para direktur rumah sakit umum, daerah, dan swasta; para Rektor, Dekan Fakultas Kedokteran, Farmasi, Kesehatan Masyarakat, dan MIPA di seluruh universitas negeri maupun swasta di Indonesia; serta para Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten se-Indonesia. Surat ini menghimbau semua lembaga yang masih mengirimkan specimen biologis ke NAMRU-2 untuk menghentikan kegiatan.

Begitu surat dirilis, Presiden Yudhoyono memanggil Siti Fadilah. “Rasanya tidak perlu……… toh, NAMRU-2 sudah banyak berjasa kepada kita…….” Kata seorang dumber di Depkes mengutip pembicaraan SBY kepada Siti Fadilah. , kata sumber tadi, masukan ke SBY berasal dari Juru Bicara Presiden Dini Patti Djalal yang dekat dengan AS. Siti Fadilah lalu menjelaskan, meski NAMRU-2 di lingkungan Balitbangkes, Depkes tak pernah mendapat laporan hasil penelitian mereka. Selama ini yang dilaporkan hanya kegiatan saja. “Saya juga gak tahu opo to isine (apa sih isinya). NAMRU itu. Kata Siti Fadilah, karena itu pula Ia mengispeksi laboratorium itu secara mendadak. NAMRU-2 pun tak pernah menyertakan dokumen Material Transfer Agreement. Padahal , dokumen ini sangat penting untuk melacak specimen biologis, menyangkut dampak kesehatan maupun nilai ekonomisnya. Selain itu, meski mengaku meneliti dan mengambil sampel malaria, demam berdarah, TBC, ndan Hepatitis, hingga kini penyakit-penyakit itu masih berjangkit. Langkah Menkes didukung oleh Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda dan Kepala Badan Intelijen Negara Syamsir Siregar. Menurut mereka banyak hal perlu dibenahi dalam Mou, terutama soal jumlah peneliti NAMRU-2 yang memiliki paspor Diplomati, ketertutupan NAMRU-2 dan dugaan kegiatan intelijen para peneliti NAMRU.

Menlu, Menhan, dan Menkes, sepakat hanya akan memberikan pasor Diplomatik untuk Direktur dan Wakil Direktur NAMRU-2. Syamsir malah menyatakan cukup seorang, selain menegaskan bahwa tak semua daerah boleh dikunjungi. Sementara, “Harus ada Dokter TNI-AL yang diikutsertakan di setiap program”, kata Juwono. Karena surat penghentian operasi itu, Panglima United Stated Pacific Command (US – PACOM) Laksamana Timothy J. Keating dating ke Indonesia pada Kamis (10/4). Ia bertemu presiden dan Menhan di istana. Dalam jumpa pers, Keating menegaskan bahwa NAMRU-2 akan tetap beroperasi di Indonesia “NAMRU -2 akan melanjutkan aktivitasnya di inodnesia”, ujarnya. Karena pendekatan Militer mentok, Presiden G. W. Bush mengutus Menkes Michael O Leavittuntuk bertemu SBY. Di istanan Negara, SBY mempertemukan Leavitt dengan Siti Fadilah dan Menko Kesra Aburizal Bakrie. Saat itu Siti Fadilah mendudukkan masalah. “Saya terangkan tentnag pentingnya aturan pengalih-tanganan spesimen biologis,” ujarnya.

Saat itu Leavitt seolah menyetujui usul Menkes agar kerja sama NAMRU-2 digelar antar Depkes. “Dia mengaku heran dengan kerja sama selama ini dan dia setuju usul saya,” kata Siti Fadilah. Tapi belakangan penjelasannya pada Leavitt dianggap menjadi pangkal kemacetan MoU NAMRU-2. “Semua gara-gara Menteri Kesehatan,” kata Leavitt kepada The Straits Times.

Jika tiga Menteri dan Kepala BIN menolak NMARU-2, istana malah melempem. Tak hanya memerintah para Menteri agar tetap membuka hubungan, Juru Bicara Presiden Dino Patti Djalal yang memback up NAMRU-2 hingga disinyalir antek AS malah dibela habis. “Saya tegaskan, Saudara Dino bukan agen Amerika,” kata Mneteri Sekretaris Negara Hatta Radjasa.

Kasak-Kusuk Duta Besar AS untuk Indonesia

Sementara, pemerintah AS pun mulai kasak-kusuk. Dua pecan lalu, Duta Besar AS untuk Indonesia Cameron M Hume dating ke DPR/MPR bersama Direktur NAMRU-2, Captain Trevor R. Jones menemui Ketua DPR Agung Laksosno. “Mereka berencana Mnegundang DPR untuk meninjau NAMRU-2,” kata Agung sesuasi pertemuan itu.

Saat itu Hume dan Jones minta dukungan DPR agar anggota tim NAMRU-2 yang diberi fasilitas kekebalan diplomatic ditambah. Jadi tak hanya dua prang seperti darft idnonesia. Padahal kata anggota Komisi I Yusron Izha Mahendra, perpanjangan NAMRU-2 tak layak lagi. Seharusnya kerja sama berakhir tahun 2000, tapi hingga kini tetap beroperasi. “Saya tidak tahu mengapa perpanjangannya dengan Nota Diplomatik. Mungkin ada tekanan Amerika,” ujarnya.

Jika sekadar meninjau dan membiarkan anggota DPR mengkritisi, tentu tidak jadi masalah. Tapi kayaknya AS menyiapkan jurus khusus merayu DPR agar mendukung NAMRU-2. Sebab keberlangsungan Laboratorium itu sudah harga mati agar Indonesia tetap mereka kangkangi. Namun, Yusron memastikan, DPR tak akan memenuhi undangan itu. “Selama ini mereka sangat tertutup. Pasti mereka sudah menyembunyikan hal-hal yang berbahaya,” ujarnya (www.suara-islam.com/abu-zahra).


Resume Diskusi Kontemporer
"Namru II dalam Kajian HI"
-Advokastra Himahi FISIP Unhas-