04 Juni 2010

Kita dan Selera

Bagaimana mungkin konsumen bisa menentukan selera, jika secara tidak sadar selera kita dibentuk oleh pasar.
Kemarin saya sempat jalan-jalan ke salah satu pasar oligopoli di Makassar. Pasar yang menyediakan salah satu kebutuhan primer manusia, sandang (baca:pakaian). Menurutku, ini adalah tempat berbelanja yang cukup murah, karena tempat transit pertama barang-barang jualan ya di sini. Sebelum didistribusikan lebih lanjut ke toko-toko besar seperti supermarket atau pun mall-mall. Jadi harga yang dipasang para pedagang pun tidak terlalu mahal. Selain karena alasan harga tadi, ada hal lain juga yang buat ku senang berbelanja di sini. Suasananya sederhana. Dan memang pada dasarnya saya tidak terlalu suka membelanjakan uangku di mall-mall besar. Itu sama saja membantu orang yang memang sudah kaya untuk lebih kaya lagi. Dan sama saja menyukseskan agenda pemasyarakatan mall-mall mewah di makassar yang kemudian berdampak pada didepaknya pasar-pasar tradisional. Agenda terselubung bayang-bayang kapitalisme saat ini.
Setelah berkeliling hampir dua jam, saya belum juga dapat barang yang kucari. Tadinya kupikir, akan tidak terlalu sulit untuk mendapatkan barang yang sedang kucari. Ternyata, justru kebalikannya. Hampir seluruh sentra penjualan celana jins sudah ku singgahi. Mulai dari yang kiosnya hanya berukuran 2x2 meter sampai kios yang ukurannya seperti ruang kuliahku di kampus. Semua itu ku telusuri hanya untuk mencari celana jins yang modelnya tidak botol (baca:standar). Setelah menyusahkan seluruh pedagang hampir di tiap tempat yang kusinggahi, jawabannya sama, tidak ada. Sempat ada salah satu pedagang yang secara tidak sengaja mengejekku. Katanya aku sudah ketinggalan jaman. Di jaman sekarang ini masih saja mencari celana model standard. Saya dianggapnya tidak gaul.
Dalam hati, sempat miris juga melihat realita seperti ini. Bukannya tidak gaul, melainkan ini masalah selera. Tanpa sadar, kita memang telah dibentuk oleh apa yang ada di sekitar kita.
Kita butuh makan. Sebenarnya kita bisa makan apa saja. Kita bisa saja hanya makan nasi dengan lauk tempe yang dimasak sendiri, tapi di lingkungan kita hanya dijual ayam kentucky yang sangat terkenal itu. Tanpa alasan lain, ya kita makan itu saja.
Kita bisa saja akan suka nonton lakon wayang atau tari-tari tradisional Indonesia yang sangat beragam, tapi televisi hanya menayangkan film-film Hollywood yang dianggap masuk kriteria Box Office. Yang membuat persepsi di pikiran kita masing-masing bahwa tayangan tersebut adalah tayangan yang 'keren'. Jadinya, kita tidak diberi ruang untuk suka pada budaya kita sendiri.
Kita bisa saja beranggapan bahwa aksi-aksi mahasiswa tidak selamanya anarkis. realitanya memang demikian. Tidak semua aksi mahasiswa dihiasi dengan adegan pelemparan batu. Namun, berita-berita televisi hanya menyiarkan aksi yang berujung bentrok saja. Aksi damai dianggapnya adalah suatu berita yang tidak menjual. Jadinya, terbentuklah stigma maysarakat bahwa aksi mahasiswa itu selalu keras dan anarkis.
Sama halnya dengan yang baru kualami kemarin..
Kita bisa saja tidak menjadi gadis kebanyakan dengan mode kita yang beda sendiri dan tidak menjadi korban mode yang terpaksa pakai celana botol agar dianggap tetap mengikuti tren. Tapi pasar tidak menyediakan pilihan lain. Semua jenis celana yang diproduksi pabrik-pabrik pakaian dibuat dengan model botol pada ujungnya. Daripada tidak mengenakan celana, ku beli saja.
Tanpa sadar, konsumen ternyata betul-betul tidak diberi kesempatan untuk memilih.


Departemen Advokasi dan Kajian Strategis
Himahi FISIP Unhas