Era kemudahan akses informasi dan teknologi seperti sekarang merupakan faktor pendorong munculnya istilah yang tak pelak membuat segelintir telinga masyarakat Indonesia memerah mendengarnya, itulah Globalisasi. Betul, tak semua orang sepakat akan pendapat seperti ini. Dalam menelaah istilah Globalisasi, maka diperoleh keberagaman yang menimbulkan ambiguitas (makna ganda). Masyarakat awam memahami globalisasi, sebuah fenomena yang membawa aspek-aspek kemajuan saja. Tak seperti itu, sesungguhnya globalisasi tak seindah dibayangkan.
Fakta mengatakan globalisasi yang dihadapi sekarang tidaklah dalam tataran ideal yang membawa unsur-unsur kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, globalisasi sekarang adalah proses rekayasa sosial. Seperti diungkapkan oleh Noam Comsky bahwa globalization as "a conspiracy of the Western elite to establish private tyrannies across the world" atau dengan kata lain globalisasi adalah sebuah bentuk konspirasi elit Barat untuk mendirikan tirani pribadi di seluruh dunia. Sekarang ini globalisasi melahirkan sebuah bentuk penjajahan baru, yang dikenal dengan sebutan Neoliberalisme.
Neoliberalisme di Indonesia membawa dampak krisis ekologi dan sosial. Neoliberalisme di Indonesia masuk melalui celah yang disepakati oleh pemerintah Indonesia sendiri yaitu Undang-undang No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Konspirasi global yang dibawa melalui neoliberalisme kini di Indonesia, berawal pada tahun 1967, perusahaan Time Life mensponsori sebuah konfrensi di Swiss yang memberi kesempatan bagi perusahaan-perusahaan besar untuk menguasai perekonomian Indonesia. Konferensi ini dihadiri oleh penguasa-penguasa paling berpengaruh dunia, salah satunya David Rockefeller. Raksasa dunia negara maju juga terwakili dalam konfrensi ini misalnya keikutsertaan perusahaan-perusahaan perminyakan, bank-bank besar, General Motors, British Leyland, ICI, British-American Tobacco, Lehman Brothers, American Express, dan Siemens.
Fakta bahwa neoliberalisme di Indonesia menyebabkan hutang Indonesia Indonesia terus meningkat, kebijakan atas investasi semakin dimudahkan. Dan parahnya, kejadian ini didukung oleh negara sebagai perumus dan penentu kebijakan. Indonesia selalu menggembar-gemborkan upah buruh murah. Dan ini menjadi sebuah ketertarikan investor asing yang membawa kesesakan nafas bagi buruh Indonesia. Misalnya, untuk menghasilkan produk perusahaan asing seperti kebanyakan merk GAP dan Old Navy pada sebuah pabrik berlokasi di Jakarta, harga produk celana dijual di pasar Rp100.000/celana sedangkan dari setiap celana yang diproduksi buruh hanya mendapat upah Rp500 dengan sehari minimal 300 celana. Tidak hanya itu, jam kerja buruh bervariasi, 24-36 jam dengan upah tak seberapa.
Belum lagi, subsidi bagi kelangsungan hidup masyarakat harus dipotong bahkan ditiadakan menjadikan kehidupan sosial masyarakat semakin tak menentu. Terlihat seperti subsidi listrik turun dari Rp47,546 T menjadi 37,8 T. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dihapus, subsidi pangan turun dari Rp12,987 T menjadi Rp11,4 T saja. Leher petani pun semakin tercekik dengan diturunkannya subsidi pupuk Rp18,43 T menjadi Rp11,3 T.
Di sektor kehutanan dan perkebunan dapat dilihat bahwa yang menjadi faktor utama penghancuran hutan Indonesia adalah alih fungsi hutan menjadi areal perkebunan, pertambangan, maupun pemukiman selain pembalakan dan kebakaran hutan. Di tahun 2009, dari bulan Mei- Agustus, jumlah titik adalah 21294, mayoritas di Kalimantan dan Sumatra. Kembali dukungan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah No.14 tahun 2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk pembudidayaan kelapa sawit memperparah kondisi lahan gambut Indonesia dengan luas sekitar 22 juta hektar. Data BPPT menyebutkan bahwa melalu data satelit 2009 lahan gambut Indonesia sebesar 33% dalam kondisi baik, 17% dalam keadaan agak rusak, dan parahnya 50% sudah sangat rusak.
Juga, dalam laporan Greenpeace “Pembukaan Hutan Illegal dan Greenwash RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil): Studi kasus Sinar Mas” menyebutkan salah satu dampak dari kegiatan ini menyumbang perubahan iklim global. Greenpeace memperkirakan rata-rata emisi tahunan yang disebabkan oleh degradasi gambut untuk perkebunan minyak kelapa sawit Sinar Mas pada satu propinsi (Riau) saja ada 2,5 juta ton CO2. Perusahaan yang membeli produk minyak kelapa sawit dari Sinar Mas termasuk NestlĂ©, Kraft dan Procter & Gamble. Akhir tahun 2008, Sinar Mas memiliki 392.000 Ha perkebunan dengan pembagian 213.000 Ha di Sumatera, 165.000 Ha di Kalimantan dan 12.700 Ha di Papua. Sinar Mas mengklaim memiliki area lahan terbesar di dunia dengan 1,3 juta hektar area lahan yang tersedia untuk ekspansi, berlokasi di wilayah hutan lebat di Papua dan Kalimantan.
Kehancuran juga semakin menggeliat di sektor industri dan perdagangan. Impor dari China lebih besar daripada ekspor Indonesia ke China, tahun 2008 ekspor China ke Indonesia meningkat 652% dibanding tahun 2003, sedangkan dalam kurun waktu yang sama Indonesia hanya meningkat 265%. Ini mengakibatkan defisit perdagangan Indonesia semakin menajam dari 1,3 miliar dolar AS pada tahun 2007 menjadi 9,2 miliar dolar AS pada tahun 2008 atau naik sekitar 600 persen. Bahkan sejak Januari hingga Oktober 2009, defisit mencapai 3,9 miliar dolar AS. Di tahun 2008 hingga 2009, sudah 426 perusahaan tekstil dan produksi tekstil nasional gulung tikar dikarenakan kalah bersaing dengan produk impor China. Sungguh gempuran dahsyat yang berdampak ketidakstabilan perekonomian Indonesia.
Sejumlah fakta di atas, maka jelaslah sebuah kenyataan bahwa globalisasi merupakan rekayasa sosial yang melahirkan apa yang disebut neoliberalisme. Praktek neolib ini mencekik sektor ekologi dan sosial masyarakat Indonesia. Neoliberalisme yang di dalamnya berperan tiga aktor yaitu negara, MNC, dan pekerja. Negara mendukung tumbuh suburnya praktek neolib dan berdampak negatif pada rakyat Indonesia.
Ditulis oleh:
Noor Fahmi Pramuji
Tidak ada komentar:
Posting Komentar