Presiden Amerika Serikat Barack Obama yang direncanakan akan datang ke Indonesia pada bulan Maret antara tanggal 20-22. Dengan sloganThe Change We Need dan Yes We Can namun mengalami penundaan hingga tanggal 09-10 November disebabkan karena desakkan dari anggota parlemen AS asal partai Demokrat yang meminta obama menuntaskan pengabilan keputusan akhir rancangan undang-undang reformasi kesehatan.
Tak pelak rencana kunjungan ini memicu sejumlah pro dan kontra. Kelompok pro beranggapan kunjungan Obama bakal mampu meningkatkan citra Indonesia di mata Internasional. Kelompok kontra menilai kunjungan Obama hanya akan membawa Indonesia sebagai negara ”yes man” yang selalu mendukung segala kebijakan AS. Kontroversi tersebut seolah mengulangi kontroversi sebelumnya dalam setiap lawatan presiden AS ke Indonesia. Kasus terakhir, ketika George W. Bush melawat ke Indonesia pada 20 November 2006, karena kebijakannya menginvasi Afghanistan (2001) dan Iraq (2003).
Tujuan kunjungan Obama ke Indonesia tidak hanya akan melakukan kunjungan kenegaraan. Namun rencananya Obama dan Presiden SBY akan secara resmi meluncurkan US-Indonesia Comprehensive Partnership, sebuah inisiatif di mana Amerika Serikat akan memperluas dan memperkuat hubungan dengan Indonesia untuk menangani isu-isu regional dan global. Kemitraan tersebut juga dimaksudkan untuk lebih merekatkan tali kerjasama kedua belah pihak. Tidak hanya menyangkut satu isu, namun juga hubungan yang lebih merata, baik di bidang energi, iptek, perdagangan, investasi, pendidikan, dan lain sebagainya. Namun yang menjadi pertanyaan besar bagi kita, apakah bentuk kerjasama yang ditawarkan tersebut akan menguntungkan kedua pihak atau bahkan semakin memperkuat tertancapnya kuku-kuku imperialisme di Indonesia??
ARTI PENTING INDONESIA DI MATA AS
Secara geo-politik, Indonesia adalah negeri Muslim terbesar, Indonesia merupakan ancaman yang serius bagi AS jika Indonesia berhasil bangkit dengan Ideologi Islam. Padahal sifat dari sebuah Ideologi jika sedang berkuasa adalah berusaha untuk tetap mempertahankan diri. Karenanya, melihat potensi Indonesia ini, adalah sangat wajar jika Amerika tidak tinggal diam. Dan tampaknya cara yang masih cukup ampuh bagi Amerika Serikat adalah dengan melancarkan Isu war on terrorist dan tetap mengkampanyekan Islam moderat.
Secara geo-ekonomi Indonesia merupakan negeri dengan SDA yang luar biasa. Setidaknya, ada Ada 60 cekungan besar minyak bumi dan gas, serta 11 yang sudah berproduksi yaitu: Cekungan Sumatera Utara, Cekungan Sunda, Cekungan Jawa Timur Laut, Cekungan Bone, Cekungan Kutai, Cekungan Seram, Cekungan Salawati dan Cekungan Bintuni, Cekungan Sibolga (tahap eksplorasi), Cekungan Bengkulu (tahap eksplorasi), Cekungan Jawa Selatan (tahap eksplorasi), Cekungan Bangai (tahap eksplorasi). Dari 11 yang sudah berproduksi bumi sebesar 1,93 miliar barel dan gas bumi sebesar 107,5 TCF. Cadangan emas dan perak terdapat di Delta Kapuas, Kepulauan Riau, Pantai Sukabumi.
Namun sayangnya AS menjadi aktor pengeruk SDA terbesar di Indonesia. Tambang Emas di papua yang saat ini dikeruk oleh freeprot, 90 % keuntungannya masuk ke AS. Blok Natuna yang diperkirakan memiliki kandungan gas hingga 222 TCF (triliun kubik kaki), 76% dimiliki oleh ExxonMobil. Blok Cepu yang diprediksi memiliki kandungan minyak lebih dari 600 juta barel (senilai Rp 648 T dengan asumsi harga minyak perbarel $120), sehingga bisa menjadi andalan bahan bakar minyak (BBM) Indonesia, 45% dimiliki oleh ExxonMobil. Selain itu, masih ada banyak perusahaan major AS yang secara keseluruhan menguasai 90 % minyak, dan gas, seperti Total Fina Elf, BP Amoco Arco, Texaco. AS semakin mengukuhkan penjajahan ekonomi melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang dimilikinya.
Melihat arti penting Indonesia di mata AS kedatangan Barrack Obama memiliki dimensi tersendiri jika ditinjau dari aspek politik internasional. Kedatangan Obama memiliki dimensi “power”. Mengingat Amerika Serikat tidak lagi menggunakan militer (hard power) untuk menekan negara lain. Maka, Obama kemudian tampil sebagai bentuk kontrol AS melalui “smart power”
Kita bisa menganalisis Amerika Serikat era Obama dalam tiga tingkat analisa yang dikenal dalam studi Hubungan Internasional: Individu, Negara, dan Sistem Internasional. Pada level analisa individu, Obama memang memiliki karakter khas Partai Demokrat yang “friendly” dan lebih mengedepankan soft power. Di awal-awal pemilu, Obama menggunakan isu antiperang dan antiterorisme sebagai political capital, antara lain dengan melempar isu penutupan penjara di Guantanamo Bay. Atas karakteristik ini, publik Amerika Serikat tertarik dan akhirnya memenangkan Obama sebagai Presiden AS.
Akan tetapi, apakah haluan politik luar negeri AS akan terpengaruh hanya oleh rational actor? Kembali jawabannya belum tentu. Iya, rational actor (Obama) memang akan mempengaruhi pengambilan keputusan. Tetapi perlu diingat, masih ada bureaucratic-polity (Kegley, 2002). Jika mindset politik luar negeri AS masih berorientasi pada how to intervene the world as a “world cop”, kita patut skeptis dengan pendekatan yang Obama tawarkan. Mengapa? Karena pada dasarnya, soft power yang ditawarkan oleh Obama bukan persoalan apakah power yang digunakan untuk kebaikan atau tidak, tetapi lebih pada persoalan “how to control another state”. Ini mengacu pada definisi Morgenthau dimana Dominasi dan Hegemoni AS, apapun jenis power-nya, akan tetap ada .
Kendati demikian, ada satu hal lagi yang perlu kita lihat: Amerika Serikat cenderung mengedepankan multilateralisme sebagai soft power-nya. Artinya, sistem internasional yang bersifat unipolar dimanfaatkan oleh Amerika Serikat era Obama untuk merekonstruksi politik luar negerinya. Untuk itulah model smart power digunakan, terutama kepada Iran, Venezuela, atau negara-negara yang selama ini kritis terhadap AS. Di satu sisi, multilateralisme yang dibangun tersebut telah membuat sistem Internasional berubah arah: Amerika Serikat mulai membangun citra diri positif yang diikuti oleh mengendurnya penggunaan koersi dan militer. Akan tetapi, di sisi lain, unipolaritas tetap unipolar dan Hegemoni tetaplah hegemoni. Sistem internasional tetap menjadikan Amerika Serikat sebagai “polisi dunia” yang akan tetap setia mengontrol world government (PBB). Pertanyaan yang perlu kita ajukan, apa yang akan terjadi jika kemudian Obama kalah pada Pemilu 2012 dan Amerika Serikat, atau lobi-lobi AIPAC kian kuat dan mendominasi? Ini yang harus dijadikan catatan.
Oleh karena itu, menjadi logis jika kemudian kita merasa skeptis dengan Ameriaka Serikat era Obama. Tawaran kerjasama yang diberikan di mana-mana termasuk kepada Indonesia, adalah sebagai “topeng” untuk melarikan Amerika Serikat dari tanggung jawabnya menyelesaikan pelbagai konflik yang sebenarnya mereka ciptakan sendiri. Di Iraq, misalnya, berapa jumlah pasukan yang pada saat ini ditarik oleh Obama? Atau, bagaimana politik luar negeri AS dalam konteks Afghanistan-Taliban? Bagaimana kuatnya lobi AIPAC menghalangi dan two-state solution yang ditawarkan sebagai resolusi konflk Israel-Palestina, karena posisi Amerika Serikat berat ke Israel? Ini perlu kita jawab untuk melihat wajah lain Obama dalam politik internasional.
Bagaimana Menyambut Kedatangan Obama?
Ketika tahun lalu Hillary Clinton datang ke Indonesia, ada satu hal yang menjadi fokus pidato Hillary: Indonesia perlu menjadi mitra strategis AS, terutama dalam konteks investasi dan perdagangan. Atase Kebudayaan AS di Indonesia, Anne Grimmes ketika berbicara di Fisipol UGM tahun lalu menyatakan, kedatangan Hillary ke Indonesia sebagai negara tujuan kedua dalam kunjungannya dapat bernilai cukup signifikan bagi pola hubungan AS-Indonesia ke depan.
Jika kita lihat dalam konteks sekarang, kita dapat pula melihat fenomena lain: Mesranya hubungan Indonesia-Cina. Tentu saja, pascakrisis finansial global, muncul kekuatan baru dalam ekonomi dunia, yaitu Cina. Ditandatanganinya ACFTA yang menjadi awal baru hubungan romantis CINA-ASEAN diharapkan diperluas kerjasamanya secara efektif dalam kerang ASEAN+3. Amerika Serikat tentu perlu mewaspadai hal ini, karena sudah jamak diketahui bahwa Perebutan pengaruh AS dan Cina terjadi di beberapa regional, salah satunya Asia Tenggara dan Afrika.
Sehingga, kita tak dapat pula melepaskan konteks kedatangan Obama ke Indonesia dari perisitiwa-peristiwa Internasional kontemporer. Peristiwa lain adalah persoalan Tibet yang memicu sedikit ketegangan antara AS dan Cina, menyusul kunjungan AS ke Dalai Lama yang tidak direstui Cina. Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara dinilai perlu dikendalikan kembali oleh soft power Amerika Serikat.
Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa ada tendensi politik Obama datang ke Indonesia. Untuk itu Indonesia perlu merancang sikap dalam menghadapi kedatangan Obama. Realisme politik adalah persoalan power. Dalam dunia unipolar sekarang, perlu kehati-hatian agar tidak terjebak dalam power politics. Untuk itulah kedatangan Obama perlu kita sikapi secara lebih tajam. Awas, jangan terperangkap politik kekuatan dunia!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar