28 Desember 2008

PARADIGMA DALAM ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Menurut Stephen M. Walt semenjak berakhirnya perang dingin terjadi berbagai perubahan di dalam teori hubungan internasional. Beragam teori dan metode berkembang.[1] Yang disertai pula dengan munculnya beragam isu-isu baru seperti, konflik etnik, lingkungan dan masa depan nation-state­.

Ada tiga paradigma yang dibahas oleh Walt di dalam artikelnya ini yaitu, Realisme, Liberalisme dan Konstruktivisme. Dalam pembahasannya tersebut Walt banyak mengulas tentang perkembangan-perkembangan yang terjadi pada masing-masing paradigma.

Realisme

Salah satu kontribusi yang diberikan realisme adalah perhatiannya terhadap permasalahan relative gains dan absolute gains. Merespon kalangan institusionalis yang beranggapan bahwa institusi internasional memungkinkan negara meninggalkan keuntungan jangka pendek untuk meraih keuntungan jangka panjang, para realis seperti, Joseph Grieco dan Stephen Krasner menyatakan bahwa sistem yang anarkis memaksa negara untuk memperhatikan secara bersamaan: 1) absolute gains dari kerjasama dan; 2) aturan main dalam distribusi keuntungan di antara partisipan. Logikanya adalah, jika sebuah negara mendapatkan keuntungan lebih besar dari yang lain maka ia secara gradual akan semakin kuat. Sementara negara yang lain akan semakin rentan (vulnerable).

Selain itu, realis juga cepat dalam merespon isu-isu baru. Barry Possen menawarkan penjelasan realis tentang konflik etnis. Ia mencatat bahwa pecahnya negara-negara multietnis menempatkan kelompok etnis lawan dalam situasi yang anarkis. Sehingga memicu intensitas ketakutan dan menggoda (tempting) masing-masing kelompok menggunakan kekuatan untuk meningkatkan posisi relatif mereka. Permasalahan ini akan semakin parah ketika di dalam wilayah masing-masing kelompok terdapat kantong-kantong (enclaves) yang didiami oleh etnis lawan. Karena masing-masing pihak akan tergoda melakukan pembersihan (cleanse) – bersifat preemptif – kelompok minoritas dan melakukan ekspansi untuk memasukan anggota kelompok mereka yang berada di luar batas wilayah.

Tetapi menurut Walt, pengembangan konsep yang paling menarik dari paradigma realis adalah munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok “defensif” dan “ofensif”. Kalangan realis-defensif semacam Waltz, Van Evera dan Jack Snyder berasumsi bahwa negara memiliki sedikit kepentingan intrinsik di dalam penaklukan militer (military conquest). Dengan alasan, biaya yang dikeluarkan untuk ekspansi, umumnya, lebih besar dibandingkan keuntungan yang diperoleh. Bagi mereka, sebagian besar perang besar (the great power wars) disebabkan oleh kelompok-kelompok domestik yang membesar-besarkan persepsi atas ancaman dan adanya keyakinan yang tinggi terhadap kemanjuran kekuatan militer.

Kalangan ini melihat bahwa perang lebih mungkin terjadi ketika kemungkinan untuk melakukan penaklukan diantara negara-negara sangat mudah dilakukan. Namun ketika defense lebih mudah dilakukan dibandingkan offense, keamanan akan muncul dimana-mana, dorongan untuk ekspansi berkurang dan kerjasama akan berkembang. Dan jika defense memiliki keuntungan dan negara-negara mampu membedakan antara senjata untuk bertahan dan menyerang, kemudian negara-negara dapat memperoleh alat-alat untuk mempertahankan diri tanpa mengancam negara lain. Dengan demikian mengenyahkan efek dari sistem yang anarki. Dalam pandangan kalangan realis-defensif, “states merely sought to survive and great powers could guarantee their security by forming balancing alliances and choosing defensive military postures (such as retaliatory nuclear forces)”[2]

Namun pandangan tersebut mendapat tantangan dari sejumlah teoritisi lain. Diantaranya adalah Peter Liberman yang menulis sebaliknya, bahwa manfaat dari melakukan penaklukan (conquest) seringkali lebih besar dari pada biaya yang harus dikeluarkan. Liberman mengemukakan argumentasinya dengan memberikan sejumlah kasus seperti, pendudukan Nazi atas Eropa Barat dan hegemoni Uni Soviet atas negara-negara Eropa Timur. Yang dengan demikian membuang keraguan terhadap klaim bahwa ekspansi militer tidak efektif lagi.

Kritik datang pula dari kalangan realis-ofensif seperti, Eric Labs, John Mearsheimer dan Fareed Zakaria yang menyatakan bahwa situasi anarki mendorong negara-negara untuk mencoba memaksimalkan kekuatan relatif mereka karena tidak satupun negara dapat memastikan kapan kekuatan revisionis sesungguhnya akan muncul.

Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan pandangan diantara kalangan realis dalam melihat persoalan internasional, semisal masa depan Eropa. Bagi kalangan realis-defensif seperti Van Evera, perang tidaklah hanya sedikit memberi keuntungan dan seringkali lahir dari militerisme, hypernationalism, atau beragam distorsi yang berasal dari faktor domestik. Van Evera mempercayai bahwa sebagian besar kekuatan militer tidak berperan (absent) di era pasca perang dingin. Ia berkesimpulan bahwa “the region is “primed for peace””. Sebaliknya para realis-ofensif berpendapat bahwa system yang anarki mendorong kekuatan-kekuatan besar untuk berkompetisi terlepas dari karakteristik internal mereka dan kompetisi keamanan akan kembali ke Eropa.

Liberalisme

Dalam tulisannya ini Walt mengulas mengenai perkembangan teori ‘democratic peace’. Teori ini berpendapat, meskipun demokrasi tampak “mensponsori” perang namun ia jarang melakukan peperangan di antara mereka. Karena norma-norma demokrasi menentang penggunaan kekerasan sesama mereka.

Namun keyakinan tersebut saat ini mendapatkan sejumlah suntikan perkembangan baru dari sejumlah teoritisi. Snyder dan Edward Mansfield menekankan bahwa negara-negara akan lebih mudah berperang jika mereka berada di tengah-tengah transisi demokrasi.[3] Sehingga upaya mengekspor demokrasi akan semakin memperburuk keadaan.

Bukti-bukti kuat mengenai demokrasi yang tidak saling berperang hanya ada pada masa-masa pasca 1945. Sebagaimana dinyatakan Joanne Gowa bahwa kekosongan konflik pada masa-masa pasca 1945 lebih disebabkan oleh kepentingan untuk menghadang Uni Soviet daripada to share prinsip-prinsip demokrasi.

Begitu pula dari jajaran liberal-institusionalis, terjadi sejumlah perkembangan-perkembangan baru. Saat ini bagi mereka, institusi dipandang sebagai fasilitator bagi kerjasama antar negara-negara yang memiliki kesamaan kepentingan. Dan setuju bahwa negara-negara tidak dapat dipaksa untuk bekerjasama jika itu bertentangan dengan kepentingan negara tersebut.

Sementara aliran liberal-ekonomik berpendapat bahwa “globalisasi” pasar dunia, kemunculan jaringan transnasional dan NGO dan penyebaran yang cepat teknologi komunikasi global mengurangi power dari negara-negara dan mengubah perhatian dunia dari persoalan keamanan militer ke persoalan kesejahteraan ekonomi dan sosial.

Bagi Walt walaupun terjadi perubahan-perubahan di dalam pemikiran ini namun logika dasarnya tetap sama yaitu, masyarakat global terjebak ke dalam jaring-jaring ekonomi dan sosial yang saling berkait dan resiko merusak jejalinan tersebut secara efektif menghalangi tindakan-tindakan unilateralis negara-negara, terutama dalam hal penggunaan kekerasan (force). Perspektif ini secara implisit menyatakan bahwa perang akan tetap merupakan pilihan yang jauh di dalam negara-negara demokrasi industrial tingkat lanjut (the advanced industrial democracies). Bagi mereka membawa Cina dan Rusia ke dalam kapitalisme dunia merupakan cara terbaik untuk mempromosikan kesejahteraan dan perdamaian, terutama jika proses ini menghasilkan kelas menengah yang kuat di dalam negara dan memperkuat tekanan bagi demokratisasi.

Konstruktivisme

Jika realisme dan liberalisme berfokus pada faktor-faktor yang bersifat material (kasat mata) seperti power dan perdagangan maka konstruktivis berfokus pada ide. Konstruktivis memberikan perhatiannya pada kepentingan dan identitas negara sebagai produk yang dapat dibentuk dari proses sejarah yang khusus. Mereka memberi perhatian pada wacana umum yang ada ditengah masyarakat karena wacana merefleksikan dan membentuk keyakinan dan kepentingan, dan mempertahankan norma-norma yang menjadi landasan bertindak masyarakat (accepted norms of behavior). Dengan demikian konstruktivis memberi perhatian pada sumber-sumber perubahan (sources of change). Dengan pendekatannya yang demikian maka konstruktivis menggantikan marxisme sebagai the preeminent radical perspective di dalam hubungan internasional.

Menurut perspektif konstruktivis, isu-isu utama di era pasca perang dingin berkait dengan persoalan-persoalan bagaimana kelompok-kelompok sosial yang berbeda-beda conceive (menyusun dan memahami) kepentingan dan identitas mereka.

Konstruktivis memberikan perhatian kajiannya pada persoalan-persoalan bagaimana ide dan identitas dibentuk, bagaimana ide dan identitas tersebut berkembang dan bagaimana ide dan identitas membentuk pemahaman negara dan merespon kondisi di sekitarnya.

Salah satu karakteristik dari konstruktivisme adalah non-universalis. Tidak ada ketunggalan analisa atas fenomena. Walt mencontohkan jika Wendt berfokus pada persoalan bagaimana anarki dipahami oleh negara-negara, maka kalangan konstruktivis lain menekankan pada persoalan-persoalan masa depan negara teritorial. Mereka menyatakan bahwa komunikasi transnasional dan penyebaran nilai-nilai civil (civic values) mengubah loyalitas national tradisional dan secara radikal menghasilkan bentuk-bentuk baru ikatan politik (political association).

Di dalam tabel berikut, Walt memberikan sejumlah perbedaan-perbedaan di antara ketiga pemikiran tersebut.

Tabel: Perbedaan Antar Perspektif di dalam HI

Competing Paradigm

Realism

Liberalism

Constructivism

Main theoretical proposition

Self-interest states compete constantly for power or security

Concern for power overridden by economic/political considerations (desire for prosperity, commitment to liberal values)

State behaviour shaped by elite beliefs, collective norms, and social identities

Main unit of analysis

States

States

Individual (especially elites)

Main instruments

Economic and especially military power

Varies (international institutions, economic exchange, promotion democracy)

Ideas and discourse

Modern theories

Hans Morgenthau

Kenneth Waltz

Michael Doyle

Robert Keohane

Alexander Wendt

John Ruggie

Representative modern works

Waltz, Theory of International Politics.

Mearsheimer, “Back to the Future: Instability in Europe after the Cold War” (International Security, 1990)

Keohane, After Hegemony.

Fukuyama, “The End of History?” (National Interest, 1989)

Wendt, “Anarchy Is What States Make of It” (International Organization, 1992)

Koslowski & Kratochwil, “Understanding Changes in International Politics” (International Organization, 1994)

Post-cold war prediction

Resurgence of event great power competition

Increased cooperation as liberal values, free market, and international institution spread.

Agnostic because it cannot predict the content of ideas

Main limitation

Does not account for international change

Tends to ignore the role of power

Better of describing the past than anticipating the future

Sumber: Walt, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998.

Sementara Steve Smith[4] menulis, untuk memahami teori-teori internasional saat ini ada dua distinction yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, perbedaan antara “explanatory theory” dan “constitutive theory”. Kedua mengenai “foundational theory” dan “anti-foundational theory”.

Bagi explanatory theory, dunia berada di luar teori. Sebaliknya constitutive theory menyatakan bahwa teori-teori yang ada mengonstruksi dunia.[5] Artinya, bagi kalangan eksplanatoris dunia dipahami berdiri sendiri tidak terpengaruh oleh faktor subjektivitas aktor-aktor yang berdinamika di dalam dunai sosial. Dunia bersifat objektif. Tetapi sebaliknya, kalangan constitutive melihat dunia sebagai hasil pemahaman individu atas lingkungan sosialnya.

Tentang perbedaan antara foundational theory dan anti-foundational theory terletak pada isu apakah keyakinan (belief) kita tentang dunia dapat dites atau dievaluasi menggunakan prosedur yang netral dan objektif. Bagi foundationalist kebenaran dapat diukur sehingga justifikasi atas benar atau salah dapat dilakukan. Berbeda, anti-foundationalist berpendapat bahwa bahwa justifikasi benar atau salah atas klaim kebenaran tidak dapat dilakukan karena tidak pernah ada sesuatu yang netral yang dapat melakukan itu. Bahkan setiap teori menentukan sendiri apa yang disebut sebagai fakta.

Explanatory theory cenderung kepada foundationalism dan constitutive theory cenderung kepada anti-foundationalism. Kebanyakan teori-teori internasional terbaru berada di dalam kelompok anti-foundational theory seperti, posmodernisme, sebagian teori-teori feminis dan sebagian besar teori normatif (normative theory).

Sementara sosiologi historis (historical sociology) dan teori kritis cenderung berada di posisi foundationalisme. Namun di antara dua kutub tersebut terdapat konstruktivisme sosial (social constructivism) yang berada di tengah-tengah.

Juga di dalam dinamika teori-teori internasional terdapat pula debat antara positivisme dan non-positivisme yangmenyebabkan terjadinya tiga kelompok besar, yaitu: [6]

1. Rasionalisme. Di dalam kelompok ini terdapat neo-liberalisme dan neo-realisme.

2. Reflektivisme. Di dalam kelompok ini terdapat posmodernisme, teori feminis, teori normatif (normative theory), teori kritis, dan sosiologi historis (historical sociology).

3. Konstruktivisme sosial. Yang berada di tengah-tengah kedua kutub.

Neo-Neo Synthesis

Di dalam tulisannya ini Smith menjelaskan bahwa dalam perkembangannya yang lebih lanjut, terutama sejak 1980-an, realisme dan liberalisme mencapai satu titik kesamaan. “Essentially each looked at the same issue from different sides: that issue was the effect of international institutions on the behaviour of states in a situations of international anarchy.[7]

Di dalam debat-debat yang terjadi di antara kedua perspektif tersebut ada dua poin yang perlu dicermati yaitu, pertama, neo-realis lebih menekankan pada relative gains sementara neo-liberalisme menekankan pada absolute gains. Perbedaannya adalah, katakanlah ada sebuah kue, jika kemudian negara-negara berpikir untuk mendapatkan potongan kue yang paling besar dari yang lain tanpa mempedulikan ukuran kue tersebut maka ia lebih menekankan pada relative gains. Sementara jika negara-negara berpikir untuk memperbesar ukuran kue agar seluruh negara dapat memperoleh potongan kue yang besar maka negara-negara tersebut lebih menekankan pada absolute gains.

Kedua, neo-realis tidak mempercayai bahwa institusi international dapat menanggulangi akibat dari anarki internasional. Sebaliknya bagi neo-liberal, mereduksi terjadinya misunderstanding dan kerjasama antar negara dapat mencegah efek-efek yang ditimbulkan oleh anarki internasional. Kemudian juga, jika neo-realis lebih menekankan pada masalah-masalah keamanan, neo-liberal lebih menekankan pada isu-isu ekonomi-politik.

Smith juga mencatat, mengikuti Baldwin, ada empat kelemahan yang dimiliki oleh ‘neo-neo synthesis’[8]:

  1. Kedua perspektif meninggalkan isu-isu the use of force yang menjadi kunci perbedaan utama antara realisme dan liberalisme pada decade-dekade sebelumnya. Kedua perspektif tampaknya berusaha melemahkan relevansi isu-isu tersebut di dunia modern saat ini.
  2. Jika sebelumnya liberalisme melihat aktor-aktor sebagai agen moral dan realis melihat aktor-aktor sebagai power maximizers maka di dalam perkembangan ‘neo-neo debate’ keduanya setuju bahwa aktor-aktor merupakan value maximizers.
  3. Jika sebelumnya terjadi perdebatan dimana realis menekankan negara sebagai aktor dan liberalisme menekankan pada ­non-state actors maka di dalam ‘neo-neo debate’ keduanya setuju bahwa negara merupakan aktor utama di dalam politik internasional.
  4. Jika realisme melihat konflik sebagai kunci untuk memahami politik internasional dan liberalisme melihat kerjasama sebagai sesuatu yang penting maka neo-neo debate melihat kedua-duanya, baik kerjasama dan konflik sebagai fokus perhatian.

‘Neo-neo synthesis’ dapat dikatakan lahir sebagai respon atas kegagalan realisme dan liberalisme klasik dalam menganalisis fenomena internasional yang tidak sepenuhnya berjalan seperti apa yang diteorisasikan oleh dua paradigma tersebut. Hal itu disebabkan oleh perilaku aktor-aktor internasional yang cenderung pragmatis, dalam pengertian memanfaatkan kedua pendekatan tersebut dalam mencapai kepentingannya, menyebabkan realitas sosial internasional tidak dapat dilihat secara hitam putih dari perspektif masing-masing pendekatan.

Fenomena ‘neo-neo synthesis’ tidak saja merubah sejumlah pandangan yang telah ada sebelumnya di masing-masing pendekatan namun juga melahirkan sejumlah persamaan pendapat pada kedua pemikiran tersebut yang menyebabkan semakin berkurangnya jurang pemisah antara (neo) realis dan (neo) liberalis.

Social Constructivism: Bridging The Gap

Jika kita mengikuti pola pembagian yang dilakukan oleh Lapid dia atas maka di dalam bagan, ketiga kelompok besar tersebut akan tampak seperti di bawah ini:

Posisi konstruktivisme yang berada di antara rasionalisme dan reflektivisme bagi Smith memberikan keuntungan sendiri karena dapat menjadi jembatan yang menghubungkan kedua belah pihak yang saling “bertikai” dan sulit mencapai kesepahaman. Sebagaimana ditulis olehnya,

“I am sure that it promises to be one of the most important theoretical development of recent decades; the reason is that is that if it could deliver what it promises then it would it would be the dominant theory in the discipline, since it could relate to the all other approaches on their own terms, whereas at the moment there is virtually no contact between rationalist and reflectivist theories since they do not share the same view of how to build knowledge.[9]

Untuk melengkapi penjelasan Walt di atas mengenai konstruktivisme ada baiknya untuk melihat beberapa inti dari pemikiran Alexander Wendt yang telah diringkas oleh Steve Smith di dalam tulisannya yang berjudul New Approaches to International Theory. Menurut Wendt, bagi neo-realis maupun neo-liberalis identitas dan kepentingan merupakan sesuatu yang given, sesuatu yang sudah ada begitu saja. Wendt tidak mempercayainya demikian, ia melihat bahwa identitas dan kepentingan merupakan hasil dari praktek inter-subjektif di antara aktor-aktor. Dengan kata lain identitas dan kepentingan merupakan hasil dari sebuah proses interaksi. Walaupun neo-realis dan neo-liberalis mengakui bahwa proses interaksi mempengaruhi perilaku aktor-aktor namun tidak bagi identitas dan kepentingan.

Selain itu Wendt juga menyatakan bahwa collective meaning menentukan struktur yang mengatur tindakan-tindakan kita. Dan aktor-aktor memperoleh kepentingan dan identitasnya melalaui pertisipasi di dalam collective meaning tersebut. Identities and interests are relational and are defined as we defined situations.[10]

Dari sini terlihat makin jelas bahwa berbeda dengan (neo) realisme dan (neo) liberalisme, konstruktivisme memberikan penjelasan yang berbeda dalam menganalisa fenomena sosial, khususnya fenomena internasional. Konstruktivis melihat fenomena sosial merupakan hasil bentukan dari interaksi antar aktor-aktor internasional[11], sebaliknya dengan realisme dan liberalisme. Yang melihat ada unsur-unsur yang ada begitu saja tanpa campur tangan aktor-aktor internasional (given).

Model analisa yang diberikan oleh konstruktivisme ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari perkembangan tren wacana sosial dewasa ini yang lebih banyak menitikberatkan pada persoalan-persoalan “dunia ide” yang menitikberatkan pada persoalan-persoalan konstruksi sosial atas realitas. Perkembangan teori-teori model ini tidak dapat dilepaskan pengaruhnya dari sekelompok ilmuwan sosial Jerman yang dikenal sebagai Mahzab Frankfurt (Frankfurt School) dimana salah satu pemikir terkenalnya adalah Juergen Habermas. Dari Mahzab Frakfurt ini kemudian berkembang teori-teori reflektivisme dengan berbagai variannya.

Jika dikaitkan dengan jaman kekinian, dimana mobilitas dan jumlah informasi yang berseliweran sehari-hari sangat tinggi (information age), teori ini memiliki relevansi yang sangat signifikan. Karena saat ini kekuasaan tidak lagi dilanggengkan dengan kekuatan senjata semata melainkan juga melalui media-media informasi yang dapat mengonstruksi kesadaran masyarakat.

Hanya saja mengenai pemikiran konstruktivisme (terutama konstruktivisme Wendt), Steve Smith memberikan kritikan bahwa pemikiran Wendt tidak sepenuhnya dapat menjadi jembatan yang menghubungkan gap yang terjadi di antara rasionalisme (neo-realisme dan neo-liberalisme) dan reflektivisme (teori kritis, posmodernisme, dll). Ada lima alasan yang dikemukakan Smith:

1. Pemikiran konstruktivisme Wendt tidak cukup memuaskan bagi kalangan reflektivis yang menyukai pandangan yang lebih radikal dibandingkan Wendt.

2. Wendt terlalu “berbau” realis. Ini dapat dilihat dari pendapatnya yang menyatakan “to that extent, I am a statist and realist”. Artinya Wendt tetap memandang bahwa negara merupakan aktor utama dan negara tetap akan mendominasi. Padahal pemikiran ini yang ingin dirubah oleh reflektivisme.

3. Keinginan Wendt untuk menggabungkan rasionalis dan reflektivis bagi Smith tidak mungkin dilakukan terutama berkaitan tentang persoalan “how to construct knowledge.” Rasionalis memiliki landasan positivis sementara reflektivis post-positivis. Dua pandangan ini memiliki perbedaan yang sangat jauh sehingga sulit untuk dikombinasikan.

4. Konsep ‘struktur’ yang dikemukakan Wendt kurang material. Karena bagi Wendt struktur merupakan apa yang dipahami di kepala si aktor. Sementara bagi banyak ilmuwan struktur dipahami sebagai refleksi dari kepentingan yang material.

5. Wendt berpendapat bahwa identitas datang dari hasil proses interaksi. Kritik yang diberikan Smith atas pendapat ini adalah kita tidak datang ke dalam sebuah interaksi tanpa membawa identitas yang sebelumnya telah didapatkan. Artinya identitas yang telah kita peroleh sebelumnya akan mempengaruhi pihak lain yang terlibat di dalam sebuah proses interaksi, begitu juga sebaliknya.

Stephen M. Walt pun memberikan kritikannya terhadap konstruktivisme bahwa kelemahan konstruksivisme terletak pada ketidakmampuannya memberikan solusi atas persoalan (Better of describing the past than anticipating the future).

Bibliography

1. Stephen M. Walt, ‘International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998.

2. Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.


[1] Pembahasan beragam perspektif di dalam HI ini didasarkan pada tulisan Stephen M. Walt, ”International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998 dan Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.

[2] Stephen M. Walt, ‘International Relations: One World, Many Theories’, Foreign Policy, No. 110, Spring 1998

[3] Buku terbarunya Amy Chua, World on Fire: How Exporting Market Democracy Breeds Hatred and Global Instability, London: Arrows Book, 2004 mungkin dapat dijadikan pegangan dalam memahami pendapat tersebut.

[4] Steve Smith, ‘New Approaches to International Theory’ di dalam John Baylis & Steve Smith (ed.), The Globalization of World Politics: Introduction to International Relations, New York: Oxford University Press, 1997.

[5] Dalam bahasa Smith, “explanatory theory is one of that sees the world as something external to our theories of it; in contras a constitutive theory is one that thinks our theories actually help construct the world.”

[6] Smith, op.cit

[7] ibid. Dengan penekanan oleh penulis.

[8] Ini merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut perdebatan-perdebatan yang terjadi antara realisme dan liberalisme yang memancing terjadinya perkembangan-perkembangan terbaru di dalam tubuh kedua perspektif tersebut.

[9] Smith, op.cit.

[10] Ibid.

[11] Terutama sekali bentukan (konstruksi) yang datang dari hasil konstruksi kesadaran atau pikiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar